Bani sudah hampir keluar dari ruangan, sebelum akhirnya balik lagi kedalam. Dia harus memperingatkan sesuatu untuk si kembar.
"Kalian jangan bikin keributan. Gue nitip Vanda sebentar, nanti kalau dia bangun telfon gue." Tegas Bani kemudian pergi meninggalkan Vanda yang belum juga bangun dari tidurnya bersama si kembar. Sebetulnya Bani tidak rela meninggalkan Vanda bersama dua gengster itu, hanya saja Bani belum mandi dari semalam. Lagipula harus ada yang mengambil baju ganti untuk Vanda kan.
Rival duduk dikursi tamu, sedangkan Reval secara blak-blakan duduk disebelah ranjang Vanda dengan menggenggam tangan gadis itu.
"Jangan lama-lama." Celetuk Rival membuat Reval menoleh dengan nafas berat. Cowok itu melepaskan tangan Vanda lalu ikut duduk di kursi tamu.
"Sama sekali gak ada khawatir-khawatirnya." Cibir Reval mengupas buah yang ada di meja. Untuk Vanda juga dirinya.
"Ini khawatir." Ucap Rival dibalas tatapan tidak percaya oleh Reval.
"Bener-bener gak ekspresif lo ya. Mana ada khawatir tampang datar begitu." Reval menelan buah pir yang dirasa manis, lalu memotong lagi sisanya di mangkuk. "Agrhh." Reval merintih saat buah pir itu mengenai ujung bibirnya yang sobek.
"Ohya Ajeng gimana?" Tanya Reval.
Rival menggeleng tanda bahwa dia tidak tau menau soal kabar Ajeng setelah tawuran itu.
"Gila. Telfon goblok, dia kan juga sempet jadi tahanan Bagas." Umpat Reval kembali mengupas buah lainnya di mangkuk.
Rival mendesah, apakah dia memang tidak seperhatian itu. Selama bukan Vanda, entah kenapa dia menjadi buta arah. Asalkan Vanda selamat, yang lain baginya tidaklah penting.
"Gue ajalah." Reval meraih ponselnya disaku celana lalu menekan tombol call pada nama Ajeng.
"Hallo,-" Reval meninggalkan kupasan buahnya untuk bicara dengan Ajeng melalui telfon, kupasan itu akhirnya diteruskan oleh Rival.
Gadis itu menggerakkan tangannya yang diinfus, kepalanya sangat nyeri membuat Vanda berkali-kali mengerjap sebelum benar-benar membuka matanya. Ia melihat keatap putih dengan nuansa bau obat-obatan yang menyengat. Lalu memalingkan wajahnya saat terdengar bunyi piring dan pisau bersentuhan.
"Ri-val." Sebutnya pelan namun terdengar oleh Rival. Cowok itupun lekas bangkit dan berjalan mendekati Vanda. Wajah penuh goresan itu membuat Vanda menarik selimutnya dengan kuat. "Muka lo,-" perkataannya tersendat begitu saja saat Rival mengedipkan kedua matanya. Menyuruh Vanda untuk diam saja daripada berkomentar.
Lo apa udah baik-baik aja? Pertanyaan itu seakan menjadi kalimat yang sangat susah untuk Rival ungkapkan. Dua kali ia mengatupkan mulutnya ingin mengucap kalimat tersebut, namun berakhir dengan,
"Tidur." Bodoh!
"Baru juga bangun disuruh tidur lagi." Kekeh Vanda pelan melihat bagaimana ekspresi datar itu bertarung dengan kekhawatiran. Vanda tau Rival tidak benar-benar menyuruhnya untuk tidur.
Vanda menengok ke meja, dia sempat melihat Rival mengupas buah kan. Ah benar, dia sangat lapar.
"Riv, mau buah." Rajuknya pada Rival yang mengangguk. Mengambil mangkuk buahnya lalu memberikannya pada Vanda yang berusaha untuk duduk nersandar di ranjang.
"Suapin." Kata Vanda mencebik.
"Gak." Tolak Rival menaruh mangkuknya diatas selimut. Cowok itu memilih duduk dikursi sebelah ranjang Vanda sambil sesekali melirik gadis itu yang cemberut melahab buahnya.
"Manis banget. Kayak yang ngupasin." Celetuk Vanda tersenyum riang. Sama sekali tidak seperti orang yang lagi sakit.
Rival mendengar itu, didalam dirinya menahan gemas.
KAMU SEDANG MEMBACA
The BadBoy Twins [COMPLETE]
Teen Fiction[BUKU 1] Rival dan Reval memang kembar, tapi Vanda jelas menentang kesamaan mereka. Dia bersikeras bahwa Rival berbeda dengan Reval. Meski kenyataan yang Vanda tidak bisa pungkiri adalah, keduanya sama-sama badboy kelas kakap. Cowok paling buruk sep...