Sekarang sepertinya Vanda mengerti kenapa Reval selalu ceria, bahkan terlalu ceria setiap harinya. Cowok itu hanya ingin menutupi kesedihan dan kerapuhannya didalam. Begitulah yang nampak saat ini, didepan mata Vanda sendiri, bahkan Reval tidak sungkan menangis.
Reval duduk disamping makam Ayahnya, dengan buliran air mata meski tidak terisak. Reval menggenggam kuat nisan itu, lalu menaburkan kembali bunga yang tersisa dalam genggamannya. Begitu pula dengan Vanda yang membantu menaburkannya.
Gadis itu sedikit berjongkok, tangannya terulur untuk menepuk bahu Reval. Mencoba menenangkan cowok nakal itu sebisanya. Reval terus saja bercerita bagaimana dia dulu sangat akrab dengan ayahnya. Membuat Vanda ikut tertarik didalam cerita keakraban ayah dan anak itu, lantas membuatnya juga menahan tangis.
"Udah yuk." Ajak Vanda pergi untuk mengakhiri kesedihan Reval. Vandapun yakin bahwa ayah Reval menyuruhnya untuk membangunkan Reval agar anaknya itu sadar bahwa seseorang telah meninggal dengan tenang dan tidak perlu ditangisi disana.
Vanda menggandeng tangan Reval berlalu dari makam. Sampai di mobilnya, Vanda hanya diam. Dia tidak tau harus bilang bagaimana atau memulai dari mana. Vanda hanya sesekali melirik Reval yang rupanya sudah nampak tenang.
"Makan yuk." Ajak Reval diyakini sudah baikan.
Vanda mengangguk sambil tersenyum, hari ini betul-betul masih pagi. Karena Reval tadi mengajaknya pergi saat setelah subuh.
"Thanks karena gak nanya-nanya soal ayah gue." Reval menoleh kekiri sambil menancapkan gas mobilnya dengan kecepatan normal. "Gue cengeng ya." Tambahnya membuat Vanda dengan tegas menggeleng.
"Gue malah lebih cengeng dari elo." Kekeh Vanda mengingat dirinya mengurung diri di kamar selama hampir beberapa hari karena setelah ditinggal pergi ayahnya bertugas keluar kota. Dia menangis sampai jatuh pingsan, waktu itu dia masih SMP.
"Kayaknya lo tipe cewek strong." Tutur Reval.
Vanda terkekeh kembali, "lo juga. Dari yang gue lihat. Bahkan hidup lo lebih menyenangkan ketimbang Rival, dan gue." Vanda menoleh kekanan, sangat menyenangkan bisa bertukar cerita seperti ini.
"Lo tau Val. Gue udah ditinggal orang tua gue dari SMP. Mereka sibuk terus bahkan sampai sekarang, mereka gak pernah ada waktu buat gue. Sampai suatu saat Bani dateng dan ngehibur gue," curhatnya tersenyum mengingat saat itu. "Saat itu gue suka ke Bani. Gue selalu bergantung sama dia. Dan saat dia ninggalin gue ke luar negeri. Saat itu gue baru sadar, kalau selamanya gue bakal kesepian. Tiap hari gue nangis dan hari-hari gue berasa berantakan."
Vanda menggeser bokongnya kekanan dan menoleh tetap ke Reval yang sibuk menyetir dan mendengarkan ceritanya, "tapi pas lihat elo Val. Gue ngerasa lo adalah orang paling bahagia di dunia.
Lo bisa ngelakuin apa aja di sekolah. Bolos, makan di kantin meski gak bayar, bebas keluar masuk sekolah tanpa takut, dan tawuran tiap hari." Kekeh Vanda kembali melihat kedepan, "rasanya lo bisa terbang sebebas mungkin. Apalagi lo selalu ceria. Gue iri sama lo." Ucap Vanda tersenyum.
"Iri kenapa?" Senyum Reval segaris. Apa yang dikatakan Bani tentang Vanda tempo hari adalah benar. Membuat Reval ingin memeluk gadis itu sekarang kalau saja ia tidak sedang dalam keadaan menyetir.
"Gue iri sama lo yang selalu bisa ceria. Padahal beban dipundak lo banyak banget kan sebenernya."
Reval tersenyum menoleh ke Vanda, "sok tau lo." Cetusnya.
Vanda menggaruk kepalanya, "gue baru sadar bahwa masalah terbesar lo adalah Pak Bimo."
Ucapan Vanda barusan langsung membuat Reval menggenggam erat kemudi mobil lantas meminggirkan benda itu ke pinggir jalan. Ia sungguh muak mendengar nama itu disebut. Membuatnya setiap detik bisa murka.

KAMU SEDANG MEMBACA
The BadBoy Twins [COMPLETE]
Teen Fiction[BUKU 1] Rival dan Reval memang kembar, tapi Vanda jelas menentang kesamaan mereka. Dia bersikeras bahwa Rival berbeda dengan Reval. Meski kenyataan yang Vanda tidak bisa pungkiri adalah, keduanya sama-sama badboy kelas kakap. Cowok paling buruk sep...