Suara decitan pintu kamar mampu membuat dada Vanda berdesir, akankah dia benar-benar masuk kedalam kamar cowok. Ah, bukan-bukan, bukan itu maksudnya. Yang tepat adalah Vanda akan masuk kedalam kamar Rival, laki-laki yang ia sukai. Vanda fikir kejadian hari ini adalah moment bersejarah setelah ia mati-matian menahan sesak karena mengikuti adegan penyelamatan menyeramkan tadi.
Vanda menguatkan pegangannya pada kotak P3K yang masih setia ia bawa. Lalu dengan langkah ragu ia masuk kedalam. Diiringi dengan sapaan konyol Reval, memecahkan keheningan Rival yang sedang merokok di balkon kamarnya.
Rival merokok! Satu hal lain yang Vanda ketahui dari seorang Rival. Bagi Vanda itu tidak masalah selain narkoba dan minuman keras.
Saat Rival menoleh, Vanda benar-benar melihat wajah gasruk Rival. Lebih parah seperti dugaannya. Dagu Rival boncel, seperti habis tergores sesuatu, dan dahinyapun masih menyimpan darah beku. Rival memang nampak terlihat bersih ketimbang yang tadi, sepertinya ia sudah selesai mandi. Bajunyapun sudah diganti dengan kaos putih lengan pendek dan celana coklat sedengkul. Bahkan hanya berpenampilan seperti itu penampilan serta rambutnya tetap saja rapih,
Berbeda dengan Reval. Saat Vanda memperhatikannya duduk dikursi balkon, Vanda geleng-geleng kepala. Cowok itu tentu saja tidak mandi, gak wangi dan berantakan setengah mati. Rambutnya yang acak-acakan membuat Vanda makin bergidik ngeri.
"Gue duluan Nda. Sini." Reval menepuk-nepuk kursi yang sudah ia letakkan tepat didepannya.
Vanda mengangguk mengerti, lalu dengan ragu duduk. Cewek itu membelakangi Rival yang masih setia berdiri memandangi langit sambil menyesap rokoknya dalam-dalam.
"Pelan-pelan ya." Ujar Reval memperhatikan Vanda mengeluarkan obat merah, alkohol, dan kapas.
"Bawel lo." Cibir Vanda.
"Riv, lo dibilang bawel sama Vanda."
Vanda mendongak kaget, mulut Reval memang minta di sundut rokok. Bisa-bisanya Reval bilang begitu ke Rival. Padahal sudah jelas-jelas ia mencibir Reval, bukan Rival.
Vanda tidak berani menengok kebelakang untuk melihat reaksi Rival. Tapi yang jelas, Vanda tau bahwa Reval sedang terkekeh dan terbahak didepannya.
Kalau saja bukan karena penasaran dengan kediaman Rival. Vanda tidak sudi berdekat-dekatan begini dengan Reval.
"Ah,aw!! Pelan-pelan dibilang." Omel Reval merasa pipi lebamnya ditekan keras oleh Vanda. "Gak usah esmoni dong."
"Ih, lo ini mau ngomong apa mau diem gue obatin." Vanda gemas, ia mendekatkan lagi mukanya ke Reval kemudian menekan-nekan lagi kapas itu ke wajah Reval.
"Maunya elo. Gimana?"
Vanda menaikkan alisnya, mengganti kapasnya dengan yang baru. Kali ini ia menuangkan banyak obat merah ke benda lembut itu. Lalu menempelkannya kembali ke luka yang ada diujung bibir Reval. Sama sekali tidak menghiraukan apa yang Reval bilang.
Vanda yakin ujung bibir Reval sobek, namun entah bagaimana Reval bisa tahan dan masih saja mengoceh. Seperti luka yang ia alami adalah mainannya setiap hari, adalah kebiasaannya setiap hari.
"Na, ak i awab ni." Reval masih sempat bicara padahal mulutnya sedang menganga karena kapasnya masih menempel diujung bibirnya.
"Ngomong apa sih lo." Vanda mengambil alih kapasnya. Mendengar sekilas desahan perih yang mungkin sudah bisa ditahan.
Lalu setelah semua wajah Reval terobati, Vanda mengambil beberapa plester untuk ditempel di hidung, dan dahi sebelah kanan Reval. Melihat wajah Reval yang mulai kembali menyebalkan. Vanda berencana untuk menempelkan satu lagi plester di ujung bibir Reval, membentuknya menjadi miring, hingga setengahnya berhasil menutupi bibir Reval.
KAMU SEDANG MEMBACA
The BadBoy Twins [COMPLETE]
Teen Fiction[BUKU 1] Rival dan Reval memang kembar, tapi Vanda jelas menentang kesamaan mereka. Dia bersikeras bahwa Rival berbeda dengan Reval. Meski kenyataan yang Vanda tidak bisa pungkiri adalah, keduanya sama-sama badboy kelas kakap. Cowok paling buruk sep...