3

92 7 0
                                    

Run

Happy Reading
.
.
.
.

Karena jam kampus yang kosong, Kirana benar-benar merasa bersyukur hari ini, ingin sekali ia berteriak gembira kepada warga kota lalu memainkan alat musik dan berpesta di jalan bersama warga kota.
Tapi itu mustahil.

Ia hanya bisa menghela nafas panjang, perasaannya sedang tak bagus hari ini.

Mengingat kejadian dua hari yang lalu, saat ia menemani ayahnya yang sedang kedatangan tamu dan yang membuat hatinya panas ketika ayahnya berkata :

“Saya nggak masalah jika anak kita punya suatu hubungan”

Hubungan?

Tidak.

Demi apapun saat itu ia ingin sekali langsung berlari ke kamar karena tak sanggup lagi mendengar pembicaraan tentang hubungan, perjodohan, atau apapun itu.

Kalau saja orangtuanya tak bercerai dulu, mungkin ibunya sekarang akan membelanya bahkan selektif dalam memilih pasangan untuknya, tak seperti ayahnya yang benar-benar ingin anaknya segera punya kehidupan baru demi nama baik keluarga.

Masa bodoh.

“Melamun aja seharian, kalau kemasukkan baru tahu” ujar seorang gadis yang tiba-tiba terduduk di samping,

Kirana berdecak kesal lalu menegakkan kepalanya.

“Serba salah ya kalau gue melamun, dikira gila mungkin”

“Kenapa sih? Gara-gara bokap lo lagi ya? Oh! Atau jangan-jangan bokap lo ada kenalin sama seseorang lagi gitu? Gimana orangnya? Ganteng nggak?” cecar Laras,

Teman— maksudnya sahabat Kirana di bangku kuliah. Kirana menatap datar Laras dengan alis yang sedikit ia kerutkan.

“Apaan sih, Ras? Nggak ada yang harus gue kenal, apalagi cowok. Lo tahu kan gue sensi banget bahas makhluk yang satu itu”

Laras menopang wajah dengan sebelah tangannya, menatap temannya itu dengan sedikit prihatin.

“Lo masih belum bisa?” tanya Laras.

Dan anggukan dari Kirana sebagai jawabannya.

“Badan gue lagi-lagi gemetar waktu itu” ucapnya,

Kirana menundukkan pandangannya dan helaan nafas kembali terdengar dari bibir mungilnya itu,

“Nggak ada yang bisa dipercaya, bahkan semenjak orangtua gue bercerai. Rasa percaya gue malah semakin berkurang, padahal mereka orangtua gue dan mereka masih kasih perhatian”

Laras mendekat lalu mengelus pundak Kirana, tersenyum lembut kepada sahabatnya itu.

Dan bulir-bulir kecil mulai terlihat dari ujung mata Kirana, perasaannya kosong dan tak menentu.

“Lo nggak salah, Kir, kalau lo mulai belajar percaya mulai sekarang, gue yakin kok lo bakalan ngerti nantinya”

“Tapi susah rasanya, Ras. Kalau bukan gara-gara si bibi waktu itu yang selalu kasih semangat mungkin dari dulu gue udah putus sekolah sebagai anak broken home”

“Huss! Sudah, yang penting lo belajar mulai sekarang, gue bisa kok bantu walau nggak sering-sering amat. Oh iya, tentang sahabat kecil lo dulu, masih ingat?”

Lagi-lagi tubuh Kirana bergetar ketika Laras menanyakan sahabat kecilnya dulu yang sekarang pindah ke luar negeri dan entah kapan ia akan kembali.

“Waktu itu kita masih kelas dua SMP dan dengan entengnya dia bilang ‘Kirana, kalau sudah dewasa kita menikah ya? Gue janji bakalan buat lo bahagia’ tapi, itu semua omong kosong. Terus sekarang, dia pergi tanpa tahu bakalan balik atau nggak. Semua cowok sama aja, nggak ada yang bisa dipercaya”

Laras menatap sahabatnya itu sendu,

Yahh... kondisi psikisnya memang tak baik-baik saja, ia hanya bisa memasang wajah menghibur sesekali mengelus pundak Kirana.

***

Kirana lagi-lagi termenung, karena jam kuliah sudah berakhir satu jam yang lalu ia langsung pergi ke tempat ini.

Sebuah bukit kecil yang berada di pinggir kota dengan pemandangan danau.

Ia mengotak-atik ponselnya dan memutar lagu klasik. Lagi.

Tak terasa pula bulir-bulir air mata kembali jatuh, namun langsung ia hapus. Surai hitamnya yang terkena angin menutupi sebelah matanya, tangannya bergerak menyeka rambut ke belakang telinga.

“Kata orang, air mata itu nggak cocok buat cewek cantik”

Gerakkan tangan Kirana terhenti ketika suara bass seorang pria terdengar tepat di sampingnya,

Ia menoleh dan seketika terkejut, ada seseorang yang sudah terduduk.

Pria itu menoleh ke arah Kirana dan mata mereka bertemu, dengan memasang senyum manis di wajah tampannya itu dan Kirana yang masih menatap bingung.

“Kita ketemu lagi, Kirana”

“Lo... siapa?”

“Padahal kita baru aja ketemu dua hari yang lalu, lo udah lupa”

Pria itu memasang wajah yang terlihat kecewa, sedangkan Kirana tengah sibuk mengingat kejadian dua hari yang lalu.

Atau jangan-jangan, dia tamunya waktu itu?

“Kenalin, gue Gapura. Biar lo nggak lupa lagi”

Kirana ingat, namun wajahnya tak begitu ia ingat.

Maklum, Kirana memang benar-benar tak tertarik hanya untuk sekedar menatap wajah pria itu.

“Mau pulang bareng? Rumah kita kan satu komplek” tawar pria yang bernama Gapura ini.

“Nggak usah, makasih”

Ia pun langsung berdiri dan meninggalkan tempat itu berserta Gapura yang kini menatapnya yang mulai menjauh.

Dan lagi, sebuah senyuman muncul di wajahnya.

|tbc|

UnKnow [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang