“Jika dilihat dari struktur, bisa saja perkembangan kesehatan di daerah A cukup pesat. Kita lanjut ke contoh selanjutnya....”
Kirana terlalu malas untuk sekedar menegakkan kepalanya ke arah papan tulis, matanya sayu dengan satu tangan yang ia gunakan untuk menopang wajah. Jangan lupa poni yang menutup sebelah mata.
Kirana kurang tidur tadi malam, bukan karena tugas kuliah yang menumpuk melainkan lelah karena harus menghadiri acara yang menurut ayahnya penting tapi menurutnya sangat tidak penting hingga pulang larut malam.
Ia akan meminta ayahnya agar tak ikut serta dalam acara perkumpulan para menteri itu, yang ada malah membuatnya bosan mendengarkan percakapan para petinggi yang tak terlalu ia pahami.
“Ssstt, lo nggak takut kena cecar dosen?”
Samar-samar Kirana mendengar seseorang yang sedang berbicara padanya, ia membuka mata dan melirik ke samping. Di situ memang ada seseorang yang mengajaknya bicara.
“Masa bodoh, paling-paling cuma diusir dari ruangan. Lagian jam kuliah hampir selesai, jadi tinggal pulang”
“Oh iya, Kir, lo tadi malam cantik, pake beda banget! Gue sampai pangling lihatnya” ucap gadis yang duduk di samping Kirana.
“Makasih pujiannya, lo juga cantik tadi malam. Cantik banget. Tapi maaf, gue nggak tertarik sama penampilan gue dan acara tadi malam” ucap Kirana malas, lalu menjatuhkan kepalanya di atas meja.
“Lo ini, dikasih hidup enak malah disia-siain. Kalau gue jadi lo mungkin sudah pacaran— eh! Jadi kekasih cowok yang bokap lo kenalin tadi malam. Sumpah, Kir! Dia ganteng banget—“
“Kirana dan Laras bisa keluar dari ruang kelas saya”
***
Kirana menyeruput lemon ice hingga tersisa setengah, suhu panas di kota benar-benar membuatnya mengeluarkan keringat hanya untuk berjalan dua puluh langkah dari kampus menuju kafe.
Bersama wanita paruh baya yang kini duduk di depannya, menatap datar gadisnya itu.
“Sudah baikan?”
Suara sendawa menggelegar di ujung ruang kafe, untung hanya beberapa pengunjung yang mendengar suara musik yang dihasilkan dari mulut gadis cantik itu.
“Huss! Kamu ini, nggak sopan”
“Kenapa sih, bu? Itu tandanya aku udah baikan, nggak usah heranin anak sendiri”
Ucap Kirana disela-sela ia mengelap mulutnya dengan tisu, kemudian memotong cake separuh bagian dan masuk ke dalam mulutnya sekali lahap.
“Kamu itu udah gadis, Kir. Jaga kelakuanmu kalau di tempat umum”
“Santai aja, bu, toh orang-orang nggak akan menuntut cuma gara-gara sendawa dan cara makanku”
Nyonya Wening hanya menggeleng pasrah sambil memijat keningnya.
“Ya ampun, persis sekali sama ayahmu itu. Kebiasaan buruknya ternyata sampai juga ke kamu”
“Aku anaknya, ibu. Ya pasti mirip”
“Ya sudah, terserahmu. Ibu tinggal ke belakang dulu ya, nanti ibu antar ke rumah”
“Nggak usah, bu, aku bisa naik taksi” ucap Kirana masih mengunyah cake yang penuh di mulutnya.
“Ibu antar, titik”
Nyonya Wening akhirnya pergi dan meninggalkan putrinya yang memutar malas bola matanya.
***
Mobil sedan putih berhenti di depan rumah mewah bertingkat, nuansa klasik modern langsung terasa di tempat ini.
Kirana merapikan rambutnya sejenak sebelum ia turun dari mobil ibunya.
“Ibu nggak mau mampir sebentar?”
“Udah malam, lain kali ya sayang” ucap nyonya Wening sambil mengelus rambut Kirana.
“Ya sudah, makasih ya, bu”
“Iya sayang, kamu jaga diri ya”
Anggukkan kecil menjadi jawabannya, Kirana melesat keluar dari mobil dan melambaikan tangannya begitu mobil itu sudah melaju pergi meinggalkannya.
Ia berbalik dan masuk ke dalam rumah, langsung disambut hangat oleh si bibi dan beberapa pelayan lainnya.
“Baru pulang, non?”
“Iya, bi” ucapnya sembari tersenyum ramah.
Ia menaiki tangga menuju kamarnya, dan begitu ia membuka pintu kamar wajahnya yang letih berubah kesal.
Dan sedikit helaan nafas kasar.
“Ayah, tolong jangan suruh si bibi buat bersihkan kamarku. Biarin aja”
Protes Kirana kepada pria paruh baya yang tiba-tiba melintas, tuan Karta menghentikan langkahnya lalu mendekat.
“Kamu itu udah gadis tapi kamar nggak ada bentuknya”
“Tapi, yah, aku jadi susah lagi buat cari barang atau apalah yang aku perlu. Salah-salah sudah ada yang dibuang, tempat ambilnya jauh, bingung carinya mulai dari mana, terus kalau—“
“Ya ampun, kamu itu sama cerewetnya dengan ibumu”
tuan Karta berlalu meninggalkan Kirana yang masih dengan wajah kesalnya.
Tuan Karta hanya bisa menggeleng kepala dengan kedua tangannya yang dimasukkan ke dalam saku celana, heran dengan putri semata wayangnya itu.
“Aku anaknya, ayah. Ya pasti mirip sama ibu”

KAMU SEDANG MEMBACA
UnKnow [END]
RomanceIni bukan tentang "cinta terlarang" Tapi, bagaimana mereka membangun sebuah hubungan yang sudah terikat sejak lama. Kisah yang bisa saja dialami dalam percintaan dan keluarga.