7

60 4 0
                                    

Rain

Happy Reading
.
.
.
.

Hujan deras mengguyur kota.

Kirana tengah menikmati coklat panas sambil membaca majalah, di kafe milik ibunya.

Ia menghela nafas panjang sembari memandang ke luar jendela, melihat orang-orang dari dalam sini yang sedang berjalan dengan mantel mereka masing-masing, lalu pandangannya berganti menuju sebuah piano yang terletak di ujung ruangan kafe.

Piano Grand berwarna hitam itu benar-benar membuat gairah Kirana tertantang untuk memainkannya, tapi itu percuma karena ia masih diselimuti dan teringat masa lalu lagi.

Saat orangtuanya bertengkar hebat, ia sedang bermain piano di dalam kamar sendiri dan ditemani dengan suara keras dari kedua orangtuanya.

Saat itu mengerikkan baginya.

“Nggak mau coba main?” nyonya Wening datang sudah terduduk di samping Kirana,

“Ibu kangen sama permainan pianomu”

“Aku juga, bu. Tapi... aku selalu keingat waktu itu, jadi merasa bersalah”

“Itu sudah masa lalu, sekarang kan beda lagi. Mainin ya, buat ibu”

Kirana terdiam. Ibunya benar.

Yang sekarang Kirana lakukan hanya menjalankan kehidupannya seperti biasa tanpa perlu mengingat masa lalu.

Perlahan ia bangkit dari sofa lalu berjalan menuju piano hitam yang berdiri anggun, seakan-akan siap menunggu Kirana yang akan memainkannya.

Ia sekarang berada di samping piano dan langsung mengambil tempat duduk yang sudah tersedia, ia terduduk dan membuka penutup tuts piano.

Ada hawa aneh ketika berada di sini, saat jari-jari lentiknya menekan beberapa tuts dan seketika ia merasa memang ada sesuatu yang hilang dari dalam dirinya. 

Kirana menggunakan kedua tangannya, dan perlahan menciptakan sebuah lagu yang begitu ia rindukan hingga sekarang.

Meskipun sedikit kaku karena sudah lama tak bermain, tapi cara bermainnya masih terbilang ahli.

Kirana terus bermain hingga seulas senyum terukir di bibirnya, begitupun dengan nyonya Wening yang menyaksikan dan menghayati permainan Kirana.

Dan seseorang yang menatap kagum, tersenyum di sudut ruangan kafe.

***

Kirana masih berdiri di depan kafe, ia ingin pulang tapi hujan deras masih mengguyur kota.

Ia harus menunggu setidaknya beberapa waktu lagi sampai hujannya reda.

Ia menundukkan kepala, teringat saat memainkan piano tadi, gema-gema suara lagu klasik masih tergiang di telingannya.

Dan ia tersenyum.

Sampai ia merasa ada seseorang yang berdiri di sampingnya.

Kirana menatap sepatu orang yang berdiri di sampingnya dari bawah, mewah pikirnya.

'Kece banget sepatunya, pasti anak orang kaya’

Sedetik kemudian ia menoleh, hendak menatap orang di sampingnya. Seketika senyumannya memudar.

Matanya sedikit melebar melihat. Bagaimana ia bisa di sini?

“Kita ketemu lagi, sama-sama kejebak hujan”

Gapura.

Kirana memindahkan pandangannya ke bawah, sebuah buku yang dipegang Gapura menjadi fokusnya sekarang. Buku Piano.

Ia hanya diam dan terkejut dengan kedatangan pria ini yang selalu tiba-tiba.

“Permainan piano lo, bagus banget. Gue nggak nyangka ternyata lo bisa main piano”

Kirana memalingkan wajahnya. Gapura melihat pundak Kirana yang bergetar kemudian tersenyum kecil,

“Kalau mau kita duet ya, suatu saat  nanti”

Kirana secara reflek menoleh dan pandangan mereka bertemu.

Cukup lama.

Gapura masih tersenyum menatap Kirana, sedangkan yang ditatap tak bisa bergerak. Seakan membeku.

Tubuhnya makin bergetar tapi pandangannya tak ingin berpaling, ia menatap mata Gapura yang hitam pekat itu. Baru tersadar jika...

Gapura memang pria yang tampan.

‘Astaga, Kir! Lo apa-apaan?!’

Ia dengan cepat memalingkan wajahnya lagi. Gapura bisa melihat rona merah mulai muncul di pipinya.

Lucu, pikir Gapura.

“Mau gue antar pulang?”

“Lo nggak usah kayak sok kenal lama sama gue”

“Lo juga nggak usah kayak sok nggak kenal lama sama gue, kita kenal bahkan sudah lebih dari tiga hari. Jadi intinya, lo tahu gue dan gue tahu lo”

Kirana terdiam. Ternyata pria ini pintar beragumen,

“Gue antar pulang, ya?”

Kali ini suaranya melembut.

“Mending lo nggak usah ketemu, apalagi ajak ngobrol gue lagi”

“Kir—“

“Jangan sentuh!”

Sungguh ini diluar perkiraan Gapura.

Tiba-tiba saja ia berani memegang pundak Kirana dan langsung ditepis kasar oleh gadis itu dan lagi menatapnya dengan tajam.

Gapura menenangkan wajahnya, lalu menatap ke depan.

“Besok malam, keluarga kita diundang ke acara peresmian hotel di balai kota. Gue harap... lo bisa datang”

Kirana tak peduli lagi dan langsung pergi meninggalkannya, berjalan di atas trotoar pinggir jalan karena hujan belum juga reda.

Gapura masih menatap lurus ke depan, ia menghela nafas pelan.

‘Gue harap lo emang bisa datang’

UnKnow [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang