[Lee Seokmin] - Smile

5.2K 496 33
                                    

Happy reading! ^^



~°~°~



Cahaya matahari pagi masuk melewati celah-celah kamarku dan mulai mengusik tidur nyenyakku. Aku perlahan membuka mata dan tersenyum kecil melihat sosok bidadari cantik yang masih terlelap di hadapanku. Wajahnya begitu dekat dan tangannya melingkar sempurna di pinggangku.

Tanganku bergerak untuk menyapu beberapa anak rambut yang menutupi wajahnya. Dia sedikit terusik namun tak kunjung membuka mata. Aku terkekeh pelan kemudian mengecup bibirnya singkat.


Dia sedikit menggeliat dan mulai mengerjapkan matanya. Setelah penglihatannya cukup membaik, dia menatapku dan tersenyum tipis. "Hmm... kau sudah bangun Oppa?"

"Hmm..." Aku mengangguk seraya mengusap kepalanya. "Good morning my angel!"

"Good morning my Dokyeom!" ujarnya dengan lembut.

Aku mengecup keningnya sedangkan ia mulai menutup matanya. Aku kembali menatapnya dan tersenyum dengan lebar. "Morning kiss..."

Aku dapat melihatnya berdecak sebal. "Kau bahkan sudah mengambilnya ketika aku tidur."

Aku tertawa kecil kemudian mencubit hidungnya gemas hingga ia merintih.

"Kau tahu saja..."

Dia tertawa kecil kemudian duduk di atas ranjang dan mulai mengikat rambutnya. Hal yang sama di setiap paginya.

"Kenapa kau selalu mengikat rambutmu seperti itu? Tanpa diikatpun kau sudah cantik."

"Rambutku sangat berantakan. Aku malas menyisir pagi-pagi," ujarnya kemudian bangkit dari ranjang tetapi diam di tempat.

"Apa?" tanyaku polos.

"Cepat bersihkan tubuhmu, Oppa. Aku akan merapihkan kasurnya," jawabnya disertai seulas senyum.

"Pergilah ke dapur dan buat sarapan. Biar aku yang merapihkan kasurnya."

"Tidak, Oppa... Itu tugas seorang wanita."

Nada bicaranya yang masih seperti anak-anak membuatku tersenyum lebar. Mungkin sebagian orang akan merasa terganggu tapi aku menyukainya.

"Pergilah... Biar aku yang melakukannya."

"Ne Oppa." Dia tersenyum kemudian berjalan keluar kamar.


***


Harum masakan yang dibuat (y/n) tercium begitu aku keluar dari kamar. Hmm... seperti biasa. Dia memang chef yang handal.

Aku menghampirinya dan memeluknya dari belakang. Aku menaruh kepalaku di atas bahunya tetapi dia sama sekali tak terusik.

"Hmm... harum..." ujarku seraya meniup-niup lehernya tetapi dia sama sekali tak terusik.

"Hmm... Aku tahu masakanku memang harum," ujarnya percaya diri.

"Bukan masakannya," ujarku kemudian tertawa.

"Lalu apa?"

"Tubuhmu," ujarku kemudian mengecup bahunya singkat.

Dia tertawa kecil kemudian mengusap kepalaku lembut. "Aku bahkan belum mandi dan kau sudah memujiku."

"Kau tidak perlu mandi untuk menjadi sempurna di mataku."

"Dasar gombal!" ujarnya kemudian kembali tertawa dan itu membuatku terkekeh geli.

Imagine with SeventeenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang