Lee Seokmin - [Basketball]

2.7K 273 27
                                    

Panjang banget ini sumpah :(


Happy reading!^^



~°~°~



Aku menatap gelang buatan tangan pemberian Minghao, lelaki yang kupikir akan menjadi teman hidupku di kemudian hari. Nyatanya ia malah kembali ke negara asalnya tanpa berpamitan padaku.

Hhh ... memang mimpi yang terlalu jauh untuk siswa kelas 2 SMA sepertiku.

Sejak awal memang tidak masuk akal. Hanya karena ia memperlakukanku dengan baik dan tampak menerimaku apa adanya, aku langsung berpikir bahwa ia akan menjadi suamiku. Harusnya aku belajar dengan benar!

"Hey, (Y/n), kau tidak pulang?" tanya Mingyu—tetangga yang tidak mau kuakui di sekolah karena banyak penggemarnya. Ahh, ya, dia juga teman dekat Minghao dulu ... sebelum pergi. Sebenarnya dia tidak sekelas denganku. Tapi, setelah Minghao pergi, ia selalu memeriksaku sebelum pulang.

Aku memasukkan buku ke dalam tas kemudian beranjak. "Jangan ajak aku bicara di sekolah. Aku malas meladeni gadis-gadis itu."

"Heh, harusnya kau bersyukur," ucap Mingyu sambil merangkul bahuku—langsung kutepis, "gadis-gadis itu berusaha keras mendekatiku. Sedangkan kau, tanpa perlu berusaha pun sudah dekat denganku."

"Kalau tahu besarnya jadi tampan begini lebih baik aku tidak main denganmu waktu dulu," ucapku berpura-pura frustasi. Sebelum ia bicara lagi aku berbelok ke arah berlawanan, berniat lewat gerbang belakang. Aku tidak pernah ingin pulang bersama Mingyu. Untungnya ia mau mengerti.



Duk!


Aku tersentak ketika mendengar suara benturan di depan pintu lapangan basket indoor. Sontak langkahku terhenti. Kucoba untuk mengidentifikasi suara apa saja yang terdengar dari dalam.

Suara pantulan bola dan decitan sepatu. Sepertinya seseorang sedang bermain basket di dalam. Tapi ... bukannya basket tidak ada jadwal latihan? Mingyu saja barusan pulang.

Karena penasaran, aku memutuskan untuk masuk. Lapangan indoor itu sangat sepi. Hanya ada satu orang lelaki yang sibuk bermain di lapangan. Ia menggunakan seragam sekolah. Lengan kemejanya digulung hingga sikut. Sebuah headband menghiasi kepalanya, menahan rambutnya yang sedikit panjang agar tak menutupi dahi.

Aku memutuskan untuk duduk di bangku penonton. Mataku terus memperhatikan gerakannya yang gesit. Meski aku tidak begitu mengerti tentang basket, aku berani mengatakan bahwa gerakannya sangat baik. Seperti seorang profesional. Posturnya juga bagus. Selain itu ia sangat fokus—sampai tak menyadari keberadaanku di sini.

Lelaki itu menghentikan permainannya setelah memasukkan bola tepat ke dalam ring—yang kelima setelah aku masuk. Ia kemudian mengejar bola yang menggelinding, memeluknya, dan menjatuhkan diri di lantai.

Lengan kirinya ia gunakan untuk menutupi mata. Tampak ingin mengatasi napasnya yang tersengal-sengal.

Aku pergi jangan, nih?



Sebaiknya pergi ....

Aku segera beranjak dari tempatku. Namun, baru berdiri, kulihat lelaki itu melempar bola basket ke arahku—matanya masih tertutup.



Duk!


"Aaaa!"

Bola itu tidak mengenaiku, hanya melewati kepalaku begitu saja kemudian menabrak dinding di belakang. Namun aku refleks berteriak karena bola itu melesat dengan cepat.

"Ehh?! Apa kau baik-baik saja?!"

Aku yang entah sejak kapan menutupi wajah dengan tangan langsung menurunkannya. Lelaki yang semula berbaring itu berlarian ke arahku. Bisa kulihat wajahnya dengan jelas sekarang. Alisnya tebal, matanya kecil, hidungnya mancung, dan bibirnya cukup tebal. Ohh ... dahinya penuh keringat.

Imagine with SeventeenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang