Bab 1

10K 309 22
                                    

Usahakan baca dari awal dan jangan langsung ke bab akhir ya. Selamat membaca :)



                "Lindungi aku dari pria itu Tuhan"
-Dini-
______________________________

Nama: Dini Dwitasari
Kelas: 11 IPA 3

Suara kicau burung mulai membangunkanku di pagi dingin di hari minggu.

Hari ini aku masih disibukan dengan tugas, entah itu tugas kelompok atau individu. Sebenarnya menurutku tugas terlalu banyak hanya akan membuat murid stres bukan mencerdaskan.

Tepat pukul 08.00 WIB aku berangkat ke sekolah. Suara klakson mobil dan motor memenuhi telingaku. Jalanan sangat ramai rupanya, aku menggunakan sepeda motor matic berwarna putih dengan helm di kepalaku, tampak seolah pengemudi yang baik. Aku memang dikenal manusia baik di sekolah pun di rumah. Aku anak kedua dari dua bersaudara, kakakku sudah menikah. Aku bersekolah di SMA Harapan Bangsa, salah satu sekolah negeri yang berada di kabupaten Bogor. Sekolahku menempatkanku di jurusan IPA, awalnya aku sempat kelabakan dengan jurusan tersebut, karena saat mendaftar aku mengambil jurusan IPS. Ini semua gara-gara IQ ku di atas rata-rata. Aku tidak mau membahasnya, aku ikhlas.

Pukul 08.30 WIB aku sampai di sekolah. Setengah jam, waktu yang aku tempuh untuk mencari si ilmu. Sesampainya di sekolah, aku parkirkan motorku, mataku sibuk memerhatikan motor siapa saja yang sudah datang. Motorku berada di barisan kedua.

Aku berjalan setengah berlari, kelasku berada di lantai dua, akibatnya aku harus menaiki tangga yang entah jumlahnya berapa. Sempoyongan aku dibuatnya.

"Di sini Din"

Teriak seseorang yang berada di ruangan.

" iya"

Aku menghampiri arah suara tersebut.

"Udah mulai bukan?"

Tanyaku pada Vani. Vani adalah leader kelompokku, dia salah satu perempuan hebat yang sekelas denganku.

"Belum nih masih nunggu yang lain" Jawabnya.

"Hm dasar orang Indonesia"

Tambahku, aku sedikit kesal. Kukira aku yang telat, ternyata ada yang lebih telat. Di kelas hanya ada Vani.

Satu, dua, aku duduk di bangku depan bersama Vani yang sedari tadi sibuk memegang ponselnya. Dia terlihat sangat cemas, teman-teman yang lain tidak kunjung datang. Sementara aku sibuk memerhatikan jam dinding, kepalaku aku letakan di meja. Mataku menengadah ke atas.

Sudah satu jam aku dan Vani diam di sini. Menunggu mereka yang entah tidak ada kabar. Aku bosan. Mungkinkah mereka akan datang atau tidak, kami tidak tahu.

"Din, pulang yu ah kayanya mereka ngga bakalan dateng"
Lirih Vani yang mulai habis kesabarannya.

"Jadi nanti besok gimana? Masa iya mau langsung tampil tanpa persiapan dulu"

"Orangnya pada ngga ada, biarinlah. Aku udah capek nunggu yang ngga pasti"

"Yaudah deh. Kamu mau langsung pulang Van?"

"Iya hayu pulang"

Tampaknya Vani sangat kecewa. Seandainya Tari, Tya, Meilani, dan Via datang mungkin kami tidak sia-sia menunggu. Menunggu adalah salah satu hal yang menyebalkan.

Aku dan Vani keluar dari kelas.
Ketika kami berjalan di koridor sekolah, seseorang berlari ke arah kami. Dia memakai kaos panjang berwarna hitam, rambutnya tidak terarah, wajahnya terlihat ketakutan, pria itu menghampiri kami.

"Eh kalo pak Gurda ke sini dan nanyain gue, bilang ngga liat gitu" katanya, sambil berlari.
Dia melewati kami, dan hanya menitipkan sesuatu yang membuatku bingung.

Dan benar saja, setelah pria itu berlalu. Pak Gurda muncul, dia menghampiri kami.

"Van, liat Guntur ngga?"

Oh jadi nama pria itu Guntur, aku sempat deg degan. Untungnya Vani yang ditanya, bukan aku. Jadi, aku tidak susah payah berbohong.

"Liat pak, tadi dia lari ke arah kantin belakang"

Aku membulatkan mataku lebar-lebar. Ko Vani? Baiklah aku tidak peduli. Aku salut dengan pemikiran Vani, dia selalu konsisten dengan prinsipnya untuk tidak berbohong. Kalau saja aku yang ditanya pasti aku akan menjawab 'tidak tahu pak' atau 'ngga liat pak'

"Dasar anak itu, sudah beberapa kali saya tegur. Tapi tetap saja seperti itu"

Pak Gurda menampakan wajah sangat marah. Aku ingin sekali menanyakan kesalahan apa yang pria itu lakukan, sampai-sampai Guru sebaik pak Gurda sebegitu marahnya. Tapi niatku untuk bertanya aku urungkan, aku tidak peduli.

Aku dan Vani melanjutkan berjalan. Pikiranku masih bertanya-tanya kenapa Vani mengadu, kalau pria itu tertangkap apa yang akan pak Gurda lakukan. Kesalahan apa yang pria itu perbuat sebenarnya? Merokokkah? Sebenarnya aku tidak peduli tapi aku penasaran.

"Van, kamu kenal sama cowok tadi ? Ko bisa sih pak Gurda ngejar-ngejar dia, memangnya ada apa?" Tanyaku pada Vani, aku tidak tahan dengan isi kepalaku yang penuh dengan pertanyaan.

"Dia Guntur, anak IPS, masih satu angkatan sama kita. Aku juga gak tau masalahnya apa sama pak Gurda, setauku dia orang yang banyak masalah di sekolah. Kamu OSIS juga masa ngga kenal?"

"Masa? Aku ngga tau. Hehe"

"Huu, dasar OSIS gadungan. Hahaha" candaan Vani sungguh tidak lucu menurutku.

"Becanda kali Din" Tambahnya, sepertinya Vani mengerti.

"Iya. Hehe"

Sesampainya di parkiran, aku langsung meraih helmku.

"Van kamu ngga pulang?"
Tanyaku pada Vani yang sedari tadi duduk di dekat masjid. Masjid di sekolahku dekat dengan pakiran.

"Gue mau shalat dulu Din. Hahaha" Jawabnya tertawa.

"Hahaaa" Aku tertawa bukan karena aku meledeknya shalat. Dia Kristen. Masa ia dia shalat.

"Canda deng. Gue mau paskibra dulu" tambahnya. Dia memang khas sekali jika berbicara. Suaranya serak-serak basah. Khas orang Medan.

"Oh aku duluan ya"

"Iya sana"

Aku sampai di rumah pukul 11.00 WIB. Aku berencana hari minggu ini akan aku habiskan dengan membaca novel. Novel pembelian ayahku kemarin belum sempat aku baca, kemarin aku sibuk mengerjakan tugas bahasa Indonesia di buku paket. Bayangkan saja Guru itu menugaskan mengisi halaman 75 sampai halaman 120. Edan.

Drtt.. Drtt.. Drtt.
Ponselku bergetar. Terdapat satu SMS yang tertera dari nomer yang tidak dikenal.

'Lo Dini kan? Kan gue udah bilang. Lo jangan ngadu ke pak Gurda! Awas ya. Kalo gue ketemu lo lagi. Abis lo!'

Mataku serasa mau keluar ketika membaca pesan dari ponselku. Dia? Dia pria itu? Ko dia? Darimana dia dapat nomberku? Lagian kan bukan aku yang mengadu, melainkan Vani. Tanganku bergetar. Darahku serasa naik ke ubun-ubun. Aku balas atau tidak SMS ini. Aku dilema. Oh Tuhan bagaimana ini.

"Ini siapa ya?" Balasku. Seolah aku tidak tahu apa-apa. Aku takut.

Beberapa menit kemudian pria itu membalas pesanku.

'Jangan sobego lo ya, awas lo kalo ketemu'

Oh Tuhanku. Aku semakin bergetar, aku tidak pernah merasa seperti ini. Aku takut. Sungguh, aku tidak bisa berpikir rasional.

Kubantingkan ponselku ke atas tempat tidur. Pria itu menghantuiku.

"Memangnya siapa dia, aku tidak takut" Ucapku pada diri sendiri.

Aku terus saja berdebat dengan pikiranku. 'Kalau sampai aku bertemu lagi dengan pria itu, bagaimana?' 'Kata Vani pria itu banyak masalah dengan pihak sekolah, bukan tidak mungkin jika pria itu akan menyakitiku bagaimana?' ah dunia serasa menempatkanku ke jurang yang dalam.

Malamnya aku masih diselimuti ketakutan. Aku sudah mengadu pada Tuhanku. Shalatku tidak khusuk hari ini. Bayang-bayang pria itu jika bertemu denganku masih terus menghantui. Aku takut.

GUNTUR [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang