Bab 12 ( Part #2 )

1.6K 93 2
                                    

Pukul 17.00 WIB aku sampai di rumah. Ibuku sedang tidak ada di rumah hari ini karena sodaraku yang di Bandung sedang melakukan pernikahan, aku ditinggal karena sekolah.

Aku membantingkan ranselku ke atas kasur.

Aku mengingat sesuatu 'kado dari Doni' belum sempat aku buka, penasaran juga.

Aku perlahan merobek bungkusannya, terlihat sebuah kotak persegi di dalamnya sebuah boneka hello kitty berwarna merah jambu dan sepotong coklat. Terselip surat yang tertempel di tangan boneka kesukaanku itu seolah Si boneka sedang memegang sepucuk surat.

Untuk kak Dini.

Masih teringat satu kata yang membuat aku selalu tersenyum dibuatnya. Satu kata yang keluar dari kakak, kata yang tidak begitu berharga namun mampu membuatku merana.

Namun itu hanya bagaikan angin lalu, berlalu begitu saja. Aku pikir kakak menyimpan rasa, waktu yang menjawab semuanya. Aku kehilangan senyum Si penyemangat sekolah. Kak,  mengapa kakak susah sekali menyimpan rasa? Aku mohon beri aku rasa seperti aku mengasihi rasa untuk kakak.

-Doni Wijaya Saputra-

Aku geli membacanya, meskipun jujur aku suka sekali dengan puisinya. Aku tidak merasa apa-apa, dia aku anggap hanya merasa kagum saja dan belum benar-benar merasakan jatuh cinta. Menurutku seperti itu, aku paham betul dengan perasaan cinta meskipun aku sendiri belum pernah merasakannya, namun aku sering membaca pengertian-pengertian cinta di buku dan novel. definisiku tentang cinta 'cinta itu gaberguna aku hanya cinta kepada Allah dan orangtuaku saja'

Drtt drtt drtt
Ponselku berdering.

From:  Guntur
Masih ngambek gara-gara pisang bakar? Wkwk

Aku tidak mau membalas.

Beberapa menit kemudian Guntur menelpon. Aku tidak mau mengangkatnya.

Dia menelpon lebih dari 5 kali, aku kesal, tapi bukan karena masalah pisang bakar, aku kesal karena aku putuskan aku akan menjauhi Guntur dan juga Doni, mereka ribut gara-gara aku, setidaknya aku harus tahu diri.

Ponselku kembali berdering.

Aku membulatkan mataku, Vani yang menelpon.

"Apa Van?" Ucapku ketus

'Ternyata masih marah ya' suara disebrang sana sampai di telingaku, bola mataku melebar. Ini kan suara Guntur?! Ko dia bisa?

Aku menelan ludahku dalam-dalam.

'Ko gaangkat telpon dari aku?' Hatiku tidak bisa dikendalikan. Aku acap kali menggigit bibir bawahku dan beberapa kali menelan ludahku yang kering.

"Tadi lagi, hmm.. lagi makan iya lagi makan, HPnya di kamar jadi gabisa angkat " Ucapku asal, aku meringis ini memalukan.

'Oh gitu ya, kamu gamarah kan?'

"Ngga"

'Udah magrib, jangan lupa salat ya' Ucap Guntur

"Iya"

Aku langsung mematikan panggilannya, aku malu sekali.

Vani? Mengapa ponsel Vani ada di Guntur? Apa Vani lagi sama Guntur? Ko dia bisa? Ah sudah sudah biar besok aku serang Vani. Awas dia.

****

Di sekolah.

Aku seperti biasa manusia yang paling pagi datang ke sekolah, aku duduk di kelas sendiri menunggu Vani, aku butuh penjelasan dari dia.

Pukul 06.40 WIB teman-teman kelasku satu persatu mulai berdatangan, namun Vani belum juga sampai tujuan.

"Ah"

Aku berdecak kesal.

Hari ini ada PR matematika teman-teman kelasku ramai meminta jawaban.

Vani belum juga datang.

"Woy minjem penghapus"
Teriak Andre dari sebrang sana, aku menoleh kemudian melemparkan penghapusku ke arahnya.

Anggi datang bersama Malik, mereka langsung ribut merebut jawaban matematika, soalnya jika tidak mengerjakan hukumannya bisa keliling lapangan sebanyak 10 kali.

"Minjem tip-ex oy tip-ex" teriak Anggi, tip-ex mendarat di atas kepalanya dia berdecak kesal.

"Woy ah sialan"

"Maaf maaf" Teriak Sifa dari arah berlawanan.

Aku tertawa menyaksikan mereka.

Vani datang.

Aku langsung menghampirinya.

"Van" Vani tidak menjawab, dia menaruh ranselnya dan langsung duduk tanpa menghiraukan aku.

"VANI!"

Vani menatapku.

"Aku mau ngomong"

Vani terlihat ketakutan.

"Ngomong apa?"

"Kemarin ko bisa Guntur nelvon pake HP kamu?" Tanyaku langsung kepada inti.

"Hmm, ituuuu"

"Aku mau kamu jujur"

"Ituuu"

"Aku mengenal baik kamu, aku percaya kamu bakalan jujur"

"Sini duduk" Ucapnya pelan
Dia menyuruhku duduk di sampingnya.

"Sebenernya aku sepupu Guntur"

Bola mataku melebar

"Apa? Sepupu?"

"Iya" Vani menundukan kepalanya.

"Ko? Jadi selama ini kamu kenal sama Guntur?"

"Iya"

"Kenapa kamu gacerita dari awal kalo dia sepupu kamu"

"Aku malu punya sepupu kaya dia" Jawabnya memelas.

"Astagfirulloh"

"Maaf Din, yang ngasih nomer kamu juga aku"

"Dia minta nomer kamu pas pertama kali dia ketemu sama kamu, sekali lagi aku minta maaf"

"Dia maksa minta nomernya, kamu tau sendiri Guntur orangnya gimana. Ya terpaksa aku kasih" Tambahnya.

Aku diam tidak percaya.

*****

Di kantin.

"Din kamu marah ke aku?"

"Ngga Van, aku masih ngga percaya aja kalo kalian sepupuan"

Vani mengaduk-aduk esnya dengan sedotan, aku tahu dia pasti merasa bersalah.

"Ngga papa ko Van, hehe"

Aku dan Vani duduk saling berhadapan, beberapa menit kemudian gerombolan Guntur datang, aku melihat Guntur berjalan duluan seolah dialah pemimpin dalam regunya tersebut.

Aku menelan ludah, Guntur melihatku dia hanya melepar senyum berkali-kali, untungnya dia tidak menghampiri.

"Guntur kalo di rumah dia anak mamah banget tau" Ucap Vani, dia menghentikan tatapanku dari Guntur kemudian beralih untuk menatapnya.

"Oya?"

"Iya, di sayang banget sama keluarganya"

"Tapi aneh juga ya, biasanya orang kaya Guntur keluarganya identik sama broken home" Kataku pelan.

"Ya gitu deh, aneh, mungkin karena terlalu dimanja"

Aku terkekeh pelan.

"Mungkin"

GUNTUR [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang