Bab 9

1.6K 92 0
                                    

'Mengapa pria selalu berkehendak semaunya tanpa memikirkan akibatnya'

-Dini-

Aku sebenarnya sudah nyaman sekali dengan murid-murid di gugus 6. Tapi yasudahlah.

Aku berjalan setengah berlari ke arah gugus 4.

"Assallamualaikum"

"Waalaikumsalam" serentak

Aku mulai memperkenalkan diri. Kemudian menjelaskan maksud kedatanganku ke ruang tersebut. Siswa pria memang agak kurang sopan tapi aku tidak boleh menyerah.

"Kak permainan dong"
Kata salah satu siswi yang memakai kerudung rabbani sepertiku.

"Kalo permainan, ke ka Perdi aja ya. Hehe" Balasku

Kemudian Perdi mulai memainkan permainannya, aku tidak ahli dalam bidang ini. Tapi aku senang mereka senang. Aku memerhatikan setiap sudut siswa-siswi gugus 4. Sungguh berbeda dengan gugusku.

Salah satu siswa ada yang dihukum karena salah dalam permainan. Gelak tawa mulai memenuhi seisi ruangan.

"Kira-kira hukumannya apa ya?" Kata Perdi ke siswa yang ada di depan.

"Nyatain cinta gimana kak?" Ucap pria yang dihukum. Ucapanya sontak membuat seluruh manusia yang ada di ruangan tertawa mendengarnya.

"Emang kamu berani nyatain cinta" Tambah Perdi

"Berani kak dengan sepenuh hati asalkan boleh milih ceweknya yang mana ya"

Gelak tawa masih membanjiri seisi ruangan.

"Okelah, sok pilih"

Pria tersebut menyusuri seisi ruangan kemudian, dia menatapku.

"Aku mau kak Dini kak"

HAH? Mampus!

Manusia yang berada di ruangan masih terpingkal-pingkal oleh aksinya. Kecuali aku. Aku? Mengapa aku. Aku takut baper. Tuhan.

"Gimana kak?" Tanya pria tersebut pada Perdi yang masih tertawa.

"Kalo saya gimana kak Dini nya aja" Balas Perdi yang membuatku kelabakan. Ah si Perdi bukannya bilang 'jangan' menyebalkan.

Dia menghampiriku yang duduk di bangku belakang. Pria itu dari tampang-tampangnya persis kriminal seperti Guntur. Loh ko Guntur? Mengapa aku mengingat dia lagi. Sudah sudah.

Tepat di hadapanku, ia menyodorkan tangan kanannya. Pertanda aku harus memegangnya dan ke depan.

Aku tidak peduli dengan uluran tangannya tapi aku tetap ke depan.

"Cieeee" sontak seluruh siswa

Dih ko? Padahal aku ke depan untuk menjelaskan bahwa hal tersebut tidak baik untuk ditampikan, tapi mereka malah bersorak ramai supaya aku mau.

Pasrah, aku mengagukkan kepalaku.

Semua bertepuk tangan ramai.

Aku sudah siap dengan posisiku begitu pun dengan pria itu.

Kemudian pria tersebut berlutut di depanku. Membuat suasana semakin ramai.

"Kak, saat pertama kali aku melihat kaka pandanganku serasa redup tenang sekali. Aku mencintai kaka dari awal pertemuan, katanya cinta seperti itu cinta pada pandangan pertama"

Aku diam. Bohong jika aku merasa biasa saja. Hatiku bergemuruh. Sungguh.

"Kak, aku ingin kaka jadi motivasi aku untuk menjalani masa depan aku kelak. Aku mau kaka jadi pacar aku. Kaka mau kan jadi pacar aku?" Tanyanya menimbulkan beberapa macam spekulasi. Dia sungguhan. Atau pura-pura? Mengapa nampak sungguhan? Bagaimana ini kalau aku jawab tidak. Pasti siswa yang lain mengiraku ke GRan padahal cuman bohongan. Ah. Aku bagaimana?

"Karena menurutmu aku memotivasimu untuk mewujudkan cita-citamu. Maka aku bersedia menjadi pacarmu"
Jawabku yang menimbulkan kegaduhan sangat ramai. Semua bersorak disusul dengan tepuk tangan.

Siswa yang berada di luar melihat kejadian tersebut dari kaca.

Malah sampai-sampai ada yang mevidio. Aku baru menyadarinya. Sepertinya aku salah dalam bertindak kali ini.

Pria itu kemudian duduk ke asal kursinya. Wajahnya berseri-seri.

"Itu cuman bohongan ya"
Jelasku.

"Loh ko gitu kak?" Kata pria yang dihukum tadi. Aku lupa bertanya nama dia siapa.

Kemudian saat aku mau menjawab seseorang mengetuk pintu dan menyuruhku untuk ke ruang OSIS. Aku berlari. Katanya penting.

Aku melihat Jaya.

"Cepat masuk!"
Mengapa nada bicaranya tinggi?

"Ada apa Jay?"
Tanyaku heran.

"Kamu temui Guntur sekarang!"

HAH Guntur?

"Mau apa?"

"Dia murka"

Pernyataan Jaya membingungkanku.

"maksudnya?"

"Udah sana temui Guntur!"

Aku keluar, bukan untuk menemui Guntur aku pulang ke kelasku. Aku malas. Kenapa dengan Guntur? Mengapa harus melibatkan aku? Aku tidak peduli.

Sesampainya di kelas teman-temanku bersorak ramai.

"Din PJ ah" ucap Vani padaku. Aku bingung.

"PJ apa? Pajak jomblo?"

"Ah tadi baru jadian juga"

"Sama?"

"Doni"

"Doni mana?"

"Ituloh anaknya pak Dace yang baru masuk sekolah ini"

"Gatau ah, kenal aja ngga"
Aku kesal, gosip berkeliaran. mengenalnya saja tidak, ah. Aku langsung meninggalkan teman-temanku dan duduk dibangku pojok, membaringkan kepalaku ke atas meja. Pusing sekali.

Beberapa menit kemudian Perdi memanggilku dari arah luar kelas dan menyuruhku menghadap Jaya. Jaya? Aku benci pria. Mengapa mereka berkehendak semaunya tanpa memikirkan akibatnya. Aku tidak peduli.

Aku hanya butuh sendiri. Sendiri.

GUNTUR [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang