#16. Drabble: Lonely

89 6 1
                                    

#16. Drabble: Lonely

Ninomiya Kazunari x Rie Mizunara
Bacanya sambil dengerin lagu ARASHI-Kimi e no Omoi. Ya?
Angst
-----

Rie mendapat kabar lewat grup OSIS LINEnya kalau ayah Nino meninggal dunia.
Rie sempat terkejut saat mendengarnya. Padahal saat terakhir Rie berkunjung ke rumah Nino dalam rangka tugas kelompok, dia melihat orang tua Nino itu masih sehat-sehat saja, bahkan membantu mereka untuk menyelesaikan tugas. Pantas saja Nino tidak terlihat pagi itu di kelas mereka.

Sepulang sekolah, seluruh anggota OSIS melayat ke rumah Nino. Upacara pemakaman sudah di lakukan siang tadi.

Rie memperhatikan sekitar. Dia melihat ibu Nino duduk berlapiskan tatami dan bantal tipis di samping figura dan guci berisi abu kremasi mayat ayah Nino. Wanita itu masih di kelilingi beberapa pelayat yang datang untuk mengucapkan bela sungkawa. Nino masih setia duduk di sebelah ibunya, mengabaikan meski teman-temannya datang hari itu.

"Ninomiya-kun beda banget ya hari ini."ungkap Kei sembari menyikut Rie .
Gadis itu menoleh kearah pacar ketua OSIS itu.

"Hm. Mukanya lebih datar dari biasanya."sahut Tsuya sembari menatap kearah Nino.

"Tapi, bukan berarti itu kesempatan kalian buat curi pandang ke dia kan?!"sungut dua orang cowok bersamaan. Sho dan Ohno.

Kei cengengesan. Mode ularnya keluar. Sedangkan Tsuya mendengus. "Gue kan nggak punya hubungan apa-apa sama lo. Nggak masalah dong."gerutu Tsuya.

Sho mengerucutkan bibirnya. "Belum kejadian aja."guman Sho sembari menatap lurus Tsuya.

Rie tidak terlalu memperhatikan keempat temannya itu. Matanya sibuk memperhatikan Nino yang masih menemani ibunya.
Sesekali menanggapi ucapan orang-orang yang mengucapkan bela sungkawa.

Kalau di lihat, memang wajah Nino lebih tak bersemangat hari ini. Seperti kehilangan separuh jiwanya. Kosong dan hampa. Datar saja. Rie jadi sedikit sedih melihatnya. Mungkin saja, wajah itu tak akan bisa menampilkan senyum tulusnya lagi. Dan Rie tidak bisa membiarkan hal itu terjadi.

Karena hari sudah beranjak malam, mereka pamit untuk pulang. Ibu dan Nino mengantar mereka sampai depan dan mengucapkan terima kasih.

Rie tersenyum kearah Nino yang menatapnya. Senyum yang lebih menusiawi. Setidaknya Rie ingin memberikan energi pada senyumnya hari itu.

Setelah berjalan lebih dari tiga rumah, Rie menghentikan langkahnya membuat rekan sesama anggota OSISnya mengernyit heran, setelahnya mereka tersenyum penuh arti. Mereka pamit duluan dan anehnya Rie menganggukan kepalanya seakan menyetujui hal itu.

Rie menoleh saat merasakan sesuatu sedang menatapnya. Matanya membulat saat melihat Nino yang berdiri tak jauh darinya, tengah menatap lurus ke matanya. Rie bisa merasakan tatapan itu berbeda dari biasanya. Penuh tekanan dan kesedihan. Yang lebih dominan adalah rasa sepi.

Entah apa yang membuat Rie nekad untuk mendekati Nino yang masih berdiri diam mematung di tempatnya. Yang pasti dia sudah mengembangkan senyum yang sama. "Tersenyumlah."ujar Rie lembut. Nino menunduk menatap Rie yang tingginya 5 cm di bawah Nino.

"Kau harus bisa tersenyum. Sesulit apapun situasinya. Pasti hal yang lebih baik akan datang."kata Rie lagi. Perlahan Nino menarik ujung bibirnya dan tersenyum.

Rie sadar itu bukanlah sebuah senyuman. Hanya gerakan otot wajah yang membentuk senyuman.

"Hei~… bukan begitu—"

Ucapan Rie menggantung saat Nino mendekat kearahnya dan menundukkan kepalanya di bahu Rie dan terisak pelan. Rie sempat kaget dan bingung harus merespon apa. Dia tidak yakin akan melakukan hal ini atau tidak yang pasti perlahan tangannya melingkar di leher Nino dan membawa tubuh cowok itu mendekap ke pelukannya.

Tangan Nino ikut melingkar di pinggangnya dan tubuh Nino semakin berguncang. Dia tidak mengatakan apa-apa. Hanya terisak semakin kencang dan teredam oleh bahu Rie . Seakan ingin mengatakan semuanya lewat isakkan itu.

Dengan ragu, Rie mengusap punggung Nino pelan dan membelai kepala cowok itu. Dia tidak berkata apa-apa. Hanya diam untuk membiarkan Nino menumpahkan segalanya, meskipun jantungnya sudah berdetak dua kali lebih cepat dari seharusnya.

Ini memang berat bagi Nino. Dia kehilangan sebagian jiwanya. Orangtua yang juga di sayanginya. Dia belum bisa membanggakan apa-apa pada ayahnya. Tapi, kami-sama sudah mengambil sebagian jiwanya secara paksa dari Nino dan keluarganya. Ini skenario terkejam untuk cowok itu.

Dan Rie mengerti rasanya.

--------
EHEM!!
#RealLife part berapa ya? -_-

[✓] Keberadaan Yang Tak Tergantikan (Drabble/Random)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang