"Karena itu sama aja lo nyakitin gue" sambungnya
Kerutan di wajahku akibat keheranan perlahan memudar.
Mengapa, aku merasa tersirat kepedihan dari setiap kata yang diucapkannya. Seolah dia sendiri tidak ingin seperti ini. Ah, mungkin hanya perasaanku saja.
***
Aku dan Mike sama-sama tenggelam dalam pikiran masing-masing. Aku menatap kosong ke samping kiriku, ke luar jendela. Dan sepertinya aku merasa sepasang mata menatapku sejak tadi.
Aku menoleh dan mendapati Mike yang diam terpaku. Bibirku tertarik ke atas sehingga memunculkan senyuman. Senyuman yang memecah keheningan, senyuman yang penuh keheranan dan rasa penasaran, senyuman yang menghancurkan lamunannya.
Tentu saja aku merasa heran, karena melihat wajahnya yang lugu, senyuman terukir di bibirku. Kedua alisku saling menaut bersamaan dengan bibirku yang menyunggingkan senyum.
"Lo liatin apa sih?" Tanyaku sambil terkekeh
Dia memalingkan wajahnya ke arah lain lalu terkekeh sendiri. Dia juga mengusap wajahnya dengan kasar.
"Lo sakit ya? Atau bete?" Tanyaku berurutan "Atau-" belum sempat selesai bicara, Mike memotongnya
"Ngga kak, gue ga-papa kok" jawabnya santai, masih dengan logat kebule-buleannya yang cukup kental
"Terus?" Tanyaku seperti menghardik
"Abis elo asik sendiri sih, ga sadar apa di sini ada pangeran" sindirnya
"Ih, lo muji diri sendiri ya?" Aku meledek, kemudian tawaku pecah
"Lo nambah cantik kalo lagi ketawa" ucapnya seperti bergumam
Satu pukulan mulus mendarat di lengannya itu.
Kemudian hening. Aku dan Mike sama-sama terdiam. Lorong rumah sakit pun kosong, tidak ada yg berlalu lalang.
Mike menatapku dalam, dan aku balik menatapnya dengan maksud untuk mengerjainya. Aku tidak bisa menyembunyikan senyumanku yang tertahan karena merasa dia juga balik memgerjaiku dengan menatapku intens.
"Lo cantik" gumamnya dengan nada rendah
Apakah pipiku mulai merona? Oh ayolah Ra, pujian seperti itu bukan sekali dua kali. Harusnya aku ga perlu blushing, terlebih adik sendiri yang mengatakannya.
Tapi bagiku lucu saja melihat raut wajah Mike yang terlihat serius namun bibirnya selalu bergerak mengucapkan kata-kata seolah ia menggombaliku saja.
Senyuman perlahan lenyap dari bibirku ini. Bukan tanpa sebab, tapi aku merasa wajah Mike yang kian mendekat.
Ya benar, Mike semakin memajukan wajahnya sehingga semakin dekat dengan wajahku. Spontan aku juga memundurkan wajahku dengan raut wajah tidak mengerti ditambah tidak percaya.
Lelaki itu terus memajukan wajahnya secara perlahan, matanya bergeser dari bola mataku dan sepertinya tatapannya jatuh pada satu pusat di wajahku. Bibirku.
"Lo- lo ma mau apa?" Tanyaku panik tapi masih berusaha tenang
Mike tidak menjawab dan masih mendekatkan wajahnya. Aku merasa sudah tidak bisa bergerak lagi karena kepalaku telah menempel dengan dinding. Ya aku sudah terpojok sekarang.
"Mike, ja- jangan Mike" nada bicaraku terdengar was-was
Aku tidak pernah membayangkan itu, tapi hal itu terlintas begitu saja di pikiranku. Ah, tidak mungkin Mike akan melakukannya. Kakakku sendiri aja tidak pernah seperti itu.
Wajar saja Mike hanyalah teman yang sudah ku anggap seperti adikku sendiri. Tapi aku rasa Mike tidak begitu, meskipun ia berasal dari luar negeri, tapi dia pasti tidak akan melakukannya. Apalagi terhadapku, di rumah sakit pula.
"Itu darah?"
Deg.
Jantungku rasanya berhenti berdetak, tenggorokanku seperti tercekat, otakku tidak bisa bekerja, darah seolah tidak lagi mengalir di seluruh tubuhku.
Saat wajah kita berdua berjarak sekitar satu jengkal, ucapan Mike barusan seolah membuat aku seperti orang paling bodoh sedunia. Tidak peduli bagaimana orang menilaiku di sekolah sebagai siswa yang pandai, tapi kali ini aku merasa benar-benar bodoh.
"Di hidung lo ada darah" ucapnya sekali lagi, wajahnya tidak lagi bergerak untuk semakin mendekat
"What?!" tanyaku tidak percaya
Malu, kaget, tidak percaya, semuanya campur aduk dalam diriku sekarang.
Mike memundurkan wajahnya dengan cepat, berbanding terbalik saat dia mendekatkan wajahnya secara perlahan.
Aku tidak ingin terlihat bodoh lebih lama lagi, aku pun mengusap darah yang mengalir dan hampir membasahi bibirku.
Perlahan tapi pasti, denyutan di kepalaku mulai terasa lagi.
Mike berdiri dan menggandeng tanganku dengan kuat, ia seolah memaksaku untuk mengikutinya. Tapi aku yakin maksudnya itu karena ia mengkhawatirkanku.
Aku pun mengikutinya, mengikuti langkahnya yang bisa dibilang cepat. Sampai kami berdua bertemu dengan suster Anna yang baru keluar dari sebuah ruangan.
"Laura" ucap suster Anna sedikit terkejut
Aku lupa kalo darah sepertinya masih terus mengalir meski perlahan.
Suster Anna yang menyadari hal itu pun tidak ingin berlama-lama dan langsung menggiring aku dan Mike menuju ruang pemeriksaan.
Dokter Kirana sudah memeriksa keadaanku. Dan ia menghampiri Mike yang sedari tadi menunggu. Suster Anna dan suster Clara juga sudah membersihkan darah yang mengalir dari hidungku, dan juga membuatku merasa lebih baik.
Aku melihat wajah Mike yang begitu cemas itu berpadu dengan keseriusan saat berbicara dengan dokter Kirana.
***
Vote and coment😊
KAMU SEDANG MEMBACA
Dear Diary
Teen FictionLaura mencintai Billy. Namun saat seseorang datang, Laura memilih untuk menjauh, mengubur perasaannya dalam-dalam, membuat benteng yang kokoh namun tak bertahan lama. Rasa itu selalu tumbuh meski telah patah berkali-kali. Billy sendiri tidak...