Arkan menggigit roti isi miliknya dan meletakan makanan itu di atas bangku panjang yang kini didudukinya, ia bersandar dan membuka kembali novel yang tengah di bacanya.
Keningnya mengernyit ketika membaca halaman-halaman terakhir, semua dugaannya, alibi yang coba ia patahkan, lalu siapa pelaku pembunuh berantakan seketika.
Penjelasan yang diberikan penulis ternyata cukup jelas, yaitu tusukan di tubuh korban yang berbeda-beda berdasarkan tenaganya. Arkan mengangguk-angguk dan memuji twist yang disajikan secara cerdas, masuk akal dan tidak terkesan ditutup-tutupi.
Arkan menutup novel berjudul Murder on The Orient Express karya Agatha Christie yang ia pinjam dari koleksi ibunya setelah mengembuskan napas panjang, ia meregangkan ototnya dan memandang pemandangan taman belakang sekolah di depannya. Hanya ada dia di sana, untung saja Sigit dan Fariz tidak ikut karena jika ada mereka hanya akan mengganggu.
Arkan membawa novel di tangan kirinya dan roti di tangan kanannya, ia berdiri dan berjalan kembali menuju kelas. Beberapa orang mencoba menyapa dan memanggil namanya, tetapi Arkan hanya bisa tersenyum kikuk karena ia sendiri tidak kenal sama sekali dengan mereka. Mungkin karena ia yang jarang bergaul dengan orang lain selain teman sekelasnya.
Ditambah selain Fariz dan Sigit, orang lain selalu bertindak menyebalkan dengan membanding-bandingkan. Oke, dia memang tidak setampan Aland atau sekharismatik Samudra. But it's Arkan, not Aland or Samudra. Jadi hentikan perbandingan sialan itu, rutuk Arkan dalam hati.
Tidak, dia tidak iri atau marah sekali dengan Aland. Ia hanya kesal terhadap mereka yang suka membandingkan. Apa mereka tidak sadar apa yang mereka lakukan itu membuat rasa percaya diri seseorang ada di titik terendah?
Dan ketika Arkan sedang menaiki tangga menuju lantai tiga ia melihat Samudra turun dengan tangan yang dimasukkan ke dalam saku celana. Kadang-kadang ia tak habis pikir bagaimana bisa Samudra terlihat seperti pria berusia matang tiga puluhan tahun, bukannya seorang bapak-bapak yang punya anak kembar.
"Hai dad," sapa Arkan.
"Hai Arkan. Oh ya, Papa rasa kamu bakalan senang liat pemandangan menarik nanti."
Arkan mengernyitkan dahi. "Emangnya ada apa?"
Samudra tersenyum. "Liat aja nanti."
"Oke." Arkan meneruskan langkahnya dan berdiri di selasar kelasnya, memandang ke bawah, tepatnya ke lapangan basket karena ia yakin bahwa Samudra pasti akan melakukan sesuatu di sana.
Soal Aland kah?
Karena penasaran, Arkan berjalan menuju kelas Aland yang ada di sebelah kelasnya. Kembarannya itu sedang memejamkan matanya dengan tangan terlipat di atas meja. Eh? Tumben Aland tidak tidur di rooftop seperti biasanya.
Arkan menghampiri Aland dan mengecek apakah Aland benar-benar tidur atau hanya memejamkan mata saja, tetapi dia memang benar-benar tidur.
"Kenapa dia?" tanya Arkan pada Alfa dan Tirta yang masih berdebat soal alasan yang digunakan mereka tadi untuk membujuk Bu Euis, yaitu kakek Tirta yang hobi poligami.
"Tidur lah," jawab Alfa yang langsung disambut dengusan Arkan. "Gue juga tau, maksudnya kok bisa dia tidur di sini? Biasanya kan di atas?"
"Kayaknya gara-gara bokap kalian, mungkin dia ditegur," ucap Tirta sambil menggigit permen rasa kopinya.
"Oh." Arkan menatap Aland sekali lagi, cowok itu tampak biasa saja dalam keadaan sedang tidur. Tetapi langsung berbanding terbalik ketika bangun, tentu saja. Entah mengapa Arkan merasa sedikit kasihan terhadap kembarannya itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Artha (SUDAH TERBIT)
Teen FictionPLAGIATOR DILARANG MENDEKAT 'Baskara dalam dunianya yang terluka.' Kalau kata Agatha, Arkan itu Cabe Man. Cowok dengan mulut sepedas cabai, sangat pintar menari serta memiliki fisik yang menawan, setengah cantik dan setengah ganteng. Agatha menjuluk...