Aku jatuh untukmu, benar-benar jatuh. Hingga rela merasakan luka dalam repihan harapan yang semu.
***
Canggung. Agatha melirik Arkan yang tengah melihat apa pun di luar jendela mobil, cowok itu sama sekali tidak berbicara sepanjang waktu.
Agatha mengalihkan perhatiannya ke arah Samudra yang tengah fokus menyetir. Samudra yang diam, Arkan diam, Agatha juga ikut diam. Sungguh, Agatha tidak tahu harus berbuat apa selain memainkan resleting jaket yang ia pakai.
Daripada tersiksa dalam hening yang ada, Agatha mencolek pundak Arkan, membuat cowok itu menoleh dengan salah satu alisnya yang tebal terangkat naik. "Apa?"
"Nggak." Agatha menusuk-nusuk lengan Arkan yang terbalut. Arkan berdecak. "Apa?"
"Kemarin Arkan serem ya," celetuk Agatha jujur.
Arkan memutar bola matanya, dia lalu mengulurkan tangan dan menyentil dahi Agatha, tentu saja secara pelan. Dia tidak ingin menyakiti miliknya.
"Serem? Biasa aja. Lagian, Lo nggak akan dapet amukan gue. Tenang aja. Gue sendiri jarang sampe semarah itu kok."
"Terus kenapa kemarin Lo sampe marah banget?"
Arkan menyunggingkan senyum tipis. "Karena dia ganggu apa yang gue anggap spesial."
Agatha buru-buru memalingkan muka, menyembunyikan semburat merah yang menjalari pipinya.
Samudra yang mulai memperlambat laju mobil karena sudah dekat ke gerbang rumah tidak bereaksi apa-apa. Toh dulu ia juga sering begitu, melontarkan kata-kata untuk Lalisa, bahkan lebih itu.
Begitu mobil sudah terhenti sempurna di halaman rumah, Arkan keluar dari dalam mobil dan meninggalkan Agatha begitu saja, tanpa menjelaskan mengapa dia berbuat seperti itu. Agatha tentu saja bingung, namun ia tetap masuk meski agak takut-takut karena Samudra berjalan di belakangnya.
"Hai," sapa Lalisa kala Agatha duduk di sampingnya di ruang tengah. "Udah ngerasa lebih sehat?"
Agatha mengangguk. "Udah."
"Syukur kalo gitu. Omong-omong, Arkan ke atas buat cuci muka. Mukanya tadi merah banget, kayaknya gara-gara kepanasan."
Eh? Agatha menelan salivanya kasar. Bukan kepanasan, suhu di mobil tentu saja sejuk berkat pendingin di sana. Atau, wajah Arkan memerah karena... ucapan yang cowok itu ucapkan tadi?
Seharusnya kan, ia yang merasa malu sampai tersipu. Mengapa Arkan juga seperti itu?
Lagipula, untuk apa cuci muka di kamar kalau di bawah saja ada toilet?
Agatha jadi bingung.
"Mm..., Ma. Aku boleh tanya sesuatu?"
Lalisa yang semula mencurahkan perhatiannya ke majalah di pangkuan pun menoleh. "Tanya apa?"
"Papa ak– maksudnya bukan Om Samudra, sekarang gimana?"
"Oh, Tio?"
Agatha mengangguk.
"Samudra udah ngelaporin dia ke polisi, tentu. Tapi, semuanya tergantung kamu. Kalau kamu merasa itu nggak perlu, Samudra bisa cabut tuntutan itu. Gimana?"
Agatha menggigit bibir bawahnya, berharap hal itu bisa membantunya berpikir soal keputusan yang akan mempengaruhi nasib Tio. Juga Sherin dan ibu tirinya.
Kalau Tio dilaporkan dan diproses secara hukum, apa Sherin akan baik-baik saja hidup tanpa ayah selama beberapa saat?
Agatha termenung cukup lama. Egonya, ingatannya tentang Bunda membuat Agatha berharap bisa mantap memutuskan bahwa Tio memang harus diproses secara hukum. Akan tetapi, jauh di lubuk hatinya ia masih memikirkan satu hal.
Bagaimana pun juga, Tio adalah ayahnya. Ayah kandungnya. Agatha tidak ingin menjadi anak yang durhaka dengan melaporkan ayahnya sendiri, meski dia memang melakukan kesalahan.
"Aku boleh minta waktu untuk ngambil keputusan nggak?"
Lalisa tersenyum. "Tentu. Ini masalah kamu, Agatha, kamu yang berhak menentukan."
"Makasih untuk pengertiannya, Ma."
Lalisa mengangguk, lalu menoleh kala Samudra memanggilnya. Lalisa berdiri dan mengusap bahu Agatha. "Mama pergi dulu ya, si posesif itu ngajak jalan-jalan."
Agatha tertawa, lalu mengacungkan jempolnya.
Begitu Lalisa dan Samudra pergi dengan tangan saling menggenggam, Agatha bangkit dan memutuskan untuk istirahat ketika Arkan menuruni tangga dengan cepat.
Agatha meringis, takut kalau Arkan terjatuh. Jika itu terjadi, pasti akan sangat sakit.
Tubuh Arkan kan, kurus, kalau dia jatuh langsung kena ke tulang. Eh.
"Ikut gue," ucap Arkan, dia berjalan menuju bagian belakang rumah.
Seperti yang dikatakan Lalisa, Arkan sepertinya memang telah mencuci muka. Terlihat dari wajahnya yang lebih segar dan beberapa bagian rambut yang masih basah.
Agatha mendengus, lalu mengikuti langkah Arkan dengan langkah ringan.
***
Haluuuuuu
Ada yang masih nunggu Artha sampe tamat? Ngacung Yo🙋
Btw, Artha tanggal beberapa chapter lagi. Yang pasti setelah Artha tamat di wattpad, Sheiland masih on going.
Dan, untuk novel Artha minta doanya aja ya. Fyi, perkiraan Artha nggak akan setebal MPB ataupun MPBB. So, harganya juga bakal lebih murah.
Nabung dari sekarang aja guys, biar nanti bisa cepet-cepet peluk cabe Man 🕺
Ok, see you:)
KAMU SEDANG MEMBACA
Artha (SUDAH TERBIT)
Genç KurguPLAGIATOR DILARANG MENDEKAT 'Baskara dalam dunianya yang terluka.' Kalau kata Agatha, Arkan itu Cabe Man. Cowok dengan mulut sepedas cabai, sangat pintar menari serta memiliki fisik yang menawan, setengah cantik dan setengah ganteng. Agatha menjuluk...