Happy reading!
***
Sore itu, sinar sang Surya tumpah tanpa aba-aba, tanpa penghalang.
Daripada duduk di bawah pohon rindang di belakang rumah di mana sinar baskara mengintip lewat sela-sela dedaunan, kembar Alano lebih memilih duduk beberapa meter dari sana.
Di atas selembar kain yang dibentangkan, mereka duduk dengan dua mangkuk apel di masing-masing pangkuan.
Aland maupun Arkan memakai kaus yang sama. Berwarna putih dengan gambar kapal dan tulisan captain. Sekilas, mereka terlihat serupa. Hampir kembar identik.
Hampir. Kalau tidak diperhatikan lebih baik, wajah Arkan cenderung lebih manis.
"Enak, ya," celetuk Aland dengan tangannya yang bertepuk tangan heboh.
Arkan mendelik, ia mengambil potongan apel itu dan memasukannya ke dalam mulut. "Kalho ngghakk enhaak, ngghhak akan dimahkhan."
Aland terkekeh, lalu mencubit pipi gembil kembarannya itu. "Alkan lucu."
"Kok lucu?" Kening Arkan mengkerut, kepalanya miring sampai-sampai ia hampir jatuh.
"Iya. Soalnya Alkan kan, pengantinnya Aland."
Aland cengar-cengir, hendak memeluk Arkan tetapi Arkan menolaknya mentah-mentah.
"JANGAN DEKET-DEKET ALKAN!"
Aland mengerucutkan bibirnya. Kesal karena tidak dibiarkan untuk memeluk orang yang ia sayangi.
Padahal, ia saja sering melihat Lalisa, ibunya membiarkan Samudra alias ayahnya memeluknya.
"Alkan takut apa?" tanya Aland tiba-tiba.
"Takut atu."
Kini, giliran Aland yang mengerutkan kening. "Atu?"
"Itu. Kutil anak."
Aland tertawa. "Hantu?"
Arkan mengangguk-angguk. "Iya itu. Kalo Aland takut apa?"
Aland membusungkan dada. "Aland nggak takut apa-apa! Aland kan, pembelani!"
"Tapi kemalin pas dimalahin Papa Aland nangis sama ngompol," kata Arkan sambil menggigiti potongan Apel terakhirnya.
"Papa kan, selem. Aland atut."
Arkan mendengus.
Sejurus kemudian, Lalisa datang sambil berkacak pinggang. Rambutnya yang tak diikat sempat berkibar sebab ditiup angin.
"Udah abis apelnya?" tanya Lalisa sembari duduk di hadapan kedua anaknya.
"Belum." Aland menunjuk mangkuknya, masih banyak potongan-potongan apel di sana.
"Udah. Minta lagi."
Mendengar permintaan Arkan, Lalisa menggeleng. "Ini mangkuk kedua kamu, Sayang. Sekarang, waktunya makan nasi."
"Tapi aku maunya apel," rengek Arkan. Tangannya menggoyang-goyangkan tangan Lalisa.
"Nggak. Kalau Mama minta kalian makan nanti malam, kalian malah main dan ujung-ujungnya tidur," balas Lalisa tegas.
"Jadi, sekarang kamu makan nasi, Arkan. Dan Aland, habisin apelnya dulu."
"Mamaaaa." Arkan merengek lagi.
Namun, tampaknya Lalisa tidak terpengaruh sama sekali. "Mama akan bawakan makanan kamu ke sini biar makannya di sini juga."
"Mamaaaa. Apel, Ma, apel."
Lalisa menggeleng sekali lagi, mengusap pipi kedua anaknya dan pergi ke dapur.
"Apel," gumam Arkan. Matanya melirik mangkuk milik Aland. "Apel."
Aland mengerjapkan matanya beberapa kali. Ia menunduk, menatap apel-apel miliknya. Apa ia harus memberikan itu untuk Arkan?
Arkan terlihat sangat menginginkannya.
"Pengin apel," gumam Arkan dengan suara bergetar.
Akhirnya, Aland menyodorkan mangkuk miliknya. "Makan punya Aland aja."
Ekspresi Arkan langsung cerah seketika. "Boleh?"
"Boleh, abisin aja, bial Alkan kenyang."
Arkan dengan cepat mengangguk, lalu memakannya tanpa banyak berkomentar.
"Makannya cepetan, Alkan, nanti Mama cepet ke sini."
Mendengar itu, Arkan memasukkan sisa apel-apel itu ke dalam mulut mungilnya. Membuat pipinya yang tembam seketika menggembung.
Aland tertawa dan bertepuk tangan.
"Makasih." Arkan bangkit dan memeluk Aland. "Apelnya enak. Alkan suka!"
Sedangkan Aland, hanya tersenyum lebar karena bisa menyenangkan hati kembarannya itu.
***
Bonus :
KAMU SEDANG MEMBACA
Artha (SUDAH TERBIT)
Teen FictionPLAGIATOR DILARANG MENDEKAT 'Baskara dalam dunianya yang terluka.' Kalau kata Agatha, Arkan itu Cabe Man. Cowok dengan mulut sepedas cabai, sangat pintar menari serta memiliki fisik yang menawan, setengah cantik dan setengah ganteng. Agatha menjuluk...