• Artha #60 •

296K 31.6K 2.6K
                                    

Do you like me like I like you?

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Do you like me like I like you?

***

Begitu tiba di taman belakang rumah, Arkan meminta Agatha untuk duduk di atas rumput yang selalu dirawat dengan baik. Mereka menghela napas bersamaan kemudian.

"Apa?" tanya Agatha.

"Nggak apa-apa."

Usai mengatakan jawabannya, Arkan berbaring dan membiarkan sinar matahari menyentuh tiap inci tubuhnya. Dalam hal ini, Agatha cukup iri. Eh.

Agatha melakukan hal yang sama. "Arkan."

"Hmm."

"Anget ya," celetuk Agatha.

"Ya kalo kerasa dingin itu di atas bukan matahari, tapi es batu," ketus Arkan.

Agatha nyengir. "Hehehe."

Arkan tidak membalas. Dia hanya berbaring dan memejamkan kedua matanya. Agatha masih membuka mata, alhasil ia menyipit karena silau.

"Arkan, Lo itu kayak matahari itu. Lo ibarat matahari di dunia gue yang kelam."

"Apa gue harus merasa tersanjung?" tanya cowok itu.

Agatha terkekeh. "Iya dong. Lo itu hangat dengan cara Lo sendiri. Gue bersyukur dulu kita pernah ribut-ribut dan akhirnya bisa saling kenal, gue nggak bisa ngebayangin kalo nggak ketemu Lo. Mungkin, gue masih jadi bank darah buat Sherin."

Arkan mendengus, sebab ingat dengan awal pertemuan mereka yang bisa dikatakan tidaklah baik. "By the way, apa yang Lo putuskan soal bokap Lo?"

Agatha mengembuskan napas perlahan, seolah mengeluarkan seluruh beban yang ada di pundaknya. "Gue belum tau, Ar. Gue emang kesel sama perlakuan dia selama ini dan apa yang dia lakuin ke Bunda. Tapi, setelah dipikir-pikir kalopun dia dihukum, Bunda nggak akan hidup lagi.

"Gue cuma mau hidup tenang dan ngejalanin hidup baru, tapi dengan matahari yang sama, Lo. Gue cuma mau mereka nggak ganggu hidup gue lagi. Papa, Angel ataupun Sherin."

"Jadi, apa yang Lo putuskan?"

"Gue mau Papa Lo cabut tuntutan, itu aja. Gue harap itu yang terbaik."

"Oke, gue nggak akan maksa lagi. Toh itu hidup Lo."

Sampai sang Surya semakin pudar sinarnya sekalipun, Arkan dan Agatha masih belum beranjak dari posisi mereka. Matahari alias Arkan dan Agatha, yang akan menjadi apa pun agar tetap mendapatkan sinarnya.

Jika ia harus hancur kala berdekatan dengan mataharinya pun, Agatha sama sekali tidak keberatan.

Selama ia mendapat setitik terang dalam dunia kelamnya, mendapat segenggam rasa dalam garis takdirnya, mendapat sebongkah kebahagiaan dalam kisah sedunya. Agatha bisa menerimanya dengan senyum yang senantiasa menutup tiap goresan luka.

***

Samudra hanya menunjukkan senyum andalannya saat Lalisa bertanya dengan nada heran begitu dirinya menghentikan mobil di depan suatu rumah yang sama sekali tidak Lalisa ketahui siapa pemiliknya.

"Ini rumah siapa, Sam?"

Belum juga Samudra sempat menjawab, ponselnya bergetar. Di layar terlihat pesan dari Arkan yang sontak membuat sudut bibirnya tertarik ke atas.

"Ini rumah seseorang yang hampir Arkan lempar pakai kursi. Dan, orang kedua yang Arkan suruh berjalan di atas pecahan kaca," jelas Samudra. Lalisa mengangguk paham. "Apa perlu aku ikut masuk?"

"Nggak usah, aku nggak ingin dia lihat kamu. Milikku."

Lalisa tertawa kecil. "Kenapa kamu nggak bawa pengawal sekalian biar lebih berkesan di depan dia?"

"Tanpa pengawal pun, aku sudah terlihat meyakininya, Lalisa." Lalisa berdecak. "Terserah."

Pintu itu terbuka dalam selang waktu yang sangat cepat setelah Samudra menekan bel. Mungkin, pemilik rumah sudah menduga kedatangannya. Meski tahu bukan dalam hal yang menyenangkan.

Tio menatap Samudra dengan sisa-sisa ketakutannya karena kejadian di rumah sakit, di mana Samudra memaksanya untuk membuat rekaman soal pengakuan tentang apa yang selama ini ia lakukan.

"To the point saja. Tuntutan akan dicabut karena kehendak seseorang, Agatha Aradilla. Dia tidak ingin ayahnya dihukum. How sweet, susah dibayangkan kalau ayahnya adalah orang macam Anda, bukan?"

Tio menahan napas, mencoba memahami tiap kata yang diucapkan Samudra. Agatha tidak menginginkannya diproses secara hukum?

"Jangan senang dulu. Tetap akan ada yang mengawasi tindak-tanduk kalian semua. Sentuh Agatha sedikit saja, kalian akan membangunkan singa yang tidur, lagi.

"Omong-omong, jangan ganggu Agatha karena itu yang dia inginkan. Itu saja, terlalu banyak waktu yang berharga terbuang jika berbicara dengan Anda."

"Sampaikan pada Agatha, semoga dia menikmati pilihannya."

Samudra mendengar nada sarkastis pada ucapan Tio. Oleh karenanya, ia hanya membalas sinis. "Sampaikan sendiri apa harapan Anda pada Agatha."

Dan Samudra pun pergi dengan senyum mengembang.

***

Mencoba produktif tapi nggak bisa huhuhu

Maklumin ya, problem siswa SMA alias masih sekolah. FULL DAY TUGAS NGALIR TERUS CUY

Gimana? Ada yang suka Chapter ini?

Ok, see you:)


Artha (SUDAH TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang