Arkan membulatkan matanya kaget ketika mendapati Agatha menghalangi jalan dengan merentangkan tangan terbuka, padahal baru saja ia mengayuh beberapa kali dari tempat biasa meletakkan sepeda, dan Agatha tadi tidak terlihat.
Tetapi sekarang cewek itu tampak nyengir, posisinya masih sama dengan yang tadi. Bahkan kakinya kini agak melebar.
"Ngapain lo di situ?" heran Arkan, ia benar-benar tidak mengerti dengan kelakuan Agatha yang tak lagi bisa dikategorikan normal.
"Gue? Napas." Agatha akhirnya melipat tangan di dada, tak lagi dalam posisi yang aneh.
Arkan mendengus, hendak mengayuh sepedanya kembali ketika Agatha menghalangi jalannya lagi. "Eh jangan pergi dulu."
"Ini cewek sableng kenapa, sih?" gumam Arkan dengan pelan, sehingga tidak bisa didengar Agatha dengan jelas.
"Mau lo apa tahan-tahan gue begini?" Arkan menjadi santai sedikit. Karena setelah dipikir-pikir, terus-menerus bersikap penuh emosi dengan Agatha juga tidak akan membawa dampak yang positif untuk Arkan, malah sebaliknya. Bisa-bisa Arkan menjadi cepat tua dan darah tinggi.
"Jadi gini ...."
"Gini apaan?"
Agatha menghentakkan kaki. "Jangan motong omongan gue dong!"
"Oke-oke."
Agatha menggerakkan satu tangannya dengan gestur seperti meminta sesuatu. "Es krim gue?"
Alis Arkan bertautan. "Gue kan nggak nerima tantangan lo dan kalah, kenapa harus beliin lo es krim? Aneh banget."
"Justru karena lo tolak tantangan gue, jadinya dua kali lipat! Jadi ... enam puluh hari!" Agatha bersorak riang, tak mempedulikan Arkan yang berdecak beberapa kali dan mulai mengayuh sepedanya lagi.
Ketika menyadari itu, Agatha mengejar Arkan dengan susah payah.
"Arkan! Kok pergi, sih?! ARKAAAN!"
"Diem!" seru Arkan sembari mencoba menahan tawanya agar tidak keluar dan membuatnya lemas, ia menoleh sebentar ke belakang untuk melihat Agatha yang tengah kesusahan.
"Arkan pokoknya es krim!"
"Beli sendiri!"
"ARKAAAAAN!"
Siswa-siswi yang berada di depan Arkan segera menyingkir, menonton pertunjukan gratis di mana dua orang yang jauh bertolak belakang tengah saling mengejar.
Meskipun tidak seimbang, Arkan menaiki sepeda dan Agatha yang berlarian dengan rambut yang sudah tidak karuan.
"Arkan es krim!"
"Beli!"
"Pokoknya es krim!"
Arkan menghentikan laju sepeda di depan gerbang, wajahnya sudah memerah, antara campuran berbagai perasaan yang bergejolak. Meskipun lebih didominasi rasa kesal.
Agatha masih berteriak-teriak seperti orang stres di belakang, tetapi ia tidak peduli sama sekali. Ketika tidak ada lagi kendaraan yang lewat Arkan segera mengayuh sepedanya menjauh.
Masa bodoh dengan Agatha yang kecapekan, lebih baik begitu agar dia menyerah terus menawarkan tantangan yang rasanya mustahil diterima oleh Arkan.
***
Sherin meniup-niup telapak tangannya yang terasa dingin. Sinar senja kian pucat seiring dengan berjalannya waktu, membuat suhu lambat laun menurun menyesuaikan dengan ketidakhadiran sang surya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Artha (SUDAH TERBIT)
Teen FictionPLAGIATOR DILARANG MENDEKAT 'Baskara dalam dunianya yang terluka.' Kalau kata Agatha, Arkan itu Cabe Man. Cowok dengan mulut sepedas cabai, sangat pintar menari serta memiliki fisik yang menawan, setengah cantik dan setengah ganteng. Agatha menjuluk...