Jangan suka ngilang tiba-tiba. Lo bikin gue khawatir.
Arkan Alano Navvare.
***
Agatha melangkahkan kaki keluar dari rumah Arkan sore itu, berniat jalan-jalan untuk mengenal daerah rumah ini. Selama di rumah cowok itu, ia memang lebih sering di dalam rumah. Entah itu untuk membantu Lalisa, belajar merajut yang sayangnya selalu gagal, bertindak centil jika Arkan ada ataupun jaim bila ia berada di ruangan yang sama dengan Samudra.
Sejauh mata memandang, Agatha hanya melihat rumah-rumah yang terbilang mewah di kanan kiri jalan. Daerah ini memang dikhususkan bagi komplek rumah orang-orang berdompet tebal. Agatha sendiri tidak begitu suka melihat rumah-rumah yang super besar begini, apalagi jika pagar-pagarnya tinggi. Terbayang sudah adegan-adegan klise film horor yang tidak masuk akal.
Agatha menaikkan lengan hoodie kebesaran yang ia pakai. Agatha pikir tubuh Arkan itu kecil, apalagi lingkar pinggang cowok itu lebih pantas untuk perempuan, sangat kecil. Namun, sekarang Agatha meminjam hoodie yang biasa dipakai Arkan malah jadi kebesaran.
Ternyata, di sini pun ada remaja seumuran dirinya. Mereka berkumpul di depan gerbang sebuah rumah dan sempat melihat ke arah Agatha dan memintanya untuk bergabung. Agatha menolak secara dramatis, yaitu dengan menunjuk rumah Arkan lalu menggerakkan tangan seolah sedang menggorok lehernya.
Tak terasa, Agatha tiba-tiba saja sudah berada di luar gerbang kompleks. Celingak-celinguk dan nyengir begitu melihat penjual es krim tradisional yang membuatnya nostalgia dengan masa-masa kecil. Tanpa pikir panjang, Agatha menghampiri penjual yang sudah berusia lanjut itu dan membelinya.
"Yang begini udah langka banget, Pak," celetuk Agatha setelah memberikan uang dan menerima es krim stik yang sudah dicelupkan ke coklat cair. "Apalagi di sekitar sekolah, aku pikir malah udah nggak ada."
Penjual itu tersenyum, menghapus keringat yang menetes di pelipisnya dengan lap yang ada di lehernya.
"Peminatnya semakin sedikit, Dek, banyak yang lebih suka es krim yang ada iklannya. Kata anak bapak, sih, gengsi kalo makan beginian. Apa, ya? Tidak instagramarbel."
Agatha terkikik geli. "Instagramable, Pak. Nggak ih, es krim begini tuh enak banget. Murah lagi."
"Anak saya saja udah nggak mau makan begini, Dek." Agatha mendesah pelan, kalau ia jadi anaknya, maka dia akan senang hati memakan es krim ini jika diminta. Bukan hanya karena ia menyukai makanan manis ini, tetapi juga untuk memberi setitik kebahagiaan untuk orang tua. "Bapak jualannya suka di mana? Nggak ke sekolah-sekolah gitu?"
"Di daerah sekitar sini aja. Kalo ke sekolah, kadang nggak diperbolehin sama satpam yang ngejaganya." Agatha mengerutkan kening. "Kalo ke SMA Pelita dibolehin nggak, Pak?"
Kalau jawabannya tidak, Agatha berjanji akan menjambak Pak Supri sampai botak. Eh? Tunggu, ia ingat Pak Supri baru dicukur rambutnya hingga plontos.
"Dibolehin, Dek. Malah, Alhamdulillah abis dibeli sama satpamnya."
KAMU SEDANG MEMBACA
Artha (SUDAH TERBIT)
Teen FictionPLAGIATOR DILARANG MENDEKAT 'Baskara dalam dunianya yang terluka.' Kalau kata Agatha, Arkan itu Cabe Man. Cowok dengan mulut sepedas cabai, sangat pintar menari serta memiliki fisik yang menawan, setengah cantik dan setengah ganteng. Agatha menjuluk...