Arkan menyisir rambutnya dengan tangan, mengembuskan napas pelan sebelum mengayuh sepeda sampai ke halaman sekolah. Beberapa siswi tampak menyapa malu-malu, ada yang memberanikan diri dengan mengucapkan selamat sore karena sudah kenal gara-gara ikut eskul dance, atau sekadar tersenyum yang dibalas Arkan seadanya.
Arkan tidak begitu pintar berinteraksi dengan orang yang tidak ia kenal, paling-paling hanya senyum kikuk dengan sudut bibir yang terangkat ke atas tanpa mencapai matanya.
Hal yang paling membingungkan bagi Arkan adalah, ketika seseorang menyapanya dan Arkan tidak tahu siapa orang itu. Bukannya merespon, ia hanya bisa mengerutkan kening dan tersenyum kaku.
Angin yang menerpa wajahnya membuat Arkan lega, suhu tubuh yang masih terasa panas kini turun sedikit demi sedikit. Rasa lelah seakan menguap ketika ia sampai di halaman parkir kafe milik ibunya.
Arkan turun, melirik arloji di pergelangan tangannya yang kecil yang menunjukkan pukul setengah lima lebih sedikit.
Ketika masuk, Arkan bisa langsung melihat Lalisa yang kini duduk di salah satu kursi. Sedang menatap sesuatu di layar ponsel, tangannya menopang dagu.
Arkan tersenyum tipis ke arah pelayan yang menyapanya. For your information, semua pegawai di sana adalah perempuan. Awalnya Arkan mengira bahwa itu semua dilakukan agar terlihat lebih seragam, tetapi kini ia tahu semua itu dilakukan oleh ayahnya yang super posesif. Tidak boleh ada pegawai laki-laki di sana, Samudra menegaskan hal ini berulang kali.
"Hai Mom," sapa Arkan ketika duduk di hadapan ibunya yang kini mendongak. Senyum Lalisa mengembang.
"Udah selesai eskulnya?"
Arkan mengangguk, menyandarkan punggung di kursi sembari mendesah pelan. Ia butuh sesuatu yang bisa menyegarkannya, atau setidaknya bisa mengurangi rasa lelah. Walaupun sedikit.
"Gimana aja tadi?"
Arkan meletakkan ponselnya di atas meja. "Ya gitu, tadi Aland ada. Buat nonton pacarnya, sih."
"Tumben dia nggak keluyuran kayak biasanya," celetuk Lalisa.
"Entah."
Arkan mengangkat bahu, tidak peduli.
"Mau es krim nggak?" Mendengar tawaran dari ibunya, Arkan langsung mengangguk semangat. Es krim merupakan salah satu makanan favoritnya, terutama rasa cokelat, juga vanilla.
Arkan bisa sejenak melupakan semua masalahnya, alternatif lain jika ia sedang tidak ingin melakukan dance yang menjadi sarana penyalur emosi bagi Arkan.
Lalisa tersenyum lembut, berdiri dan berjalan menjauh untuk membawa es krim untuk Arkan. Cowok itu kini memilih memainkan ponsel, bermain game yang melatih konsentrasi seperti game yang mengharuskan untuk menyentuh kotak hitam yang disimbolkan sebagai piano, atau bermain permainan yang memperlihatkan si karakter sedang berlari menghindari sesuatu.
"Woy."
Arkan mengernyitkan dahi ketika mendengar suara itu, cukup familiar di telinganya. Arkan mendongak dan berdecih kemudian, ia menatap Agatha yang malah tersenyum lebar.
"Ngapain lo di sini?" tanya Agatha, ekspresi di wajahnya tetap sama ketika memutuskan untuk duduk di hadapan Arkan.
"Bukan urusan lo."
Agatha mendengus, mengibaskan tangan. "Jutek amat lo jadi cowok."
"Terus lo sendiri ngapain di sini?" sengit Arkan tidak suka.
"Mau makan lah, suka bego gitu ih."
"Diem lu cabe."
Agatha melotot. "Apaan? Lo ngatain gue cabe? Kagak salah? Mulut lo tuh yang pedes kayak cabe."
KAMU SEDANG MEMBACA
Artha (SUDAH TERBIT)
Teen FictionPLAGIATOR DILARANG MENDEKAT 'Baskara dalam dunianya yang terluka.' Kalau kata Agatha, Arkan itu Cabe Man. Cowok dengan mulut sepedas cabai, sangat pintar menari serta memiliki fisik yang menawan, setengah cantik dan setengah ganteng. Agatha menjuluk...