• Artha #11 •

349K 28.9K 1.4K
                                    

"Ayo dong, Tha!" Arthur tertawa, ia mengayuh sepedanya agak cepat. Meninggalkan Agatha yang masih repot mengenakan topi lebar berenda biru di belakang.

Mereka kini sedang berada di suatu tempat yang menyajikan pemandangan bangunan-bangunan tua yang justru sedap dipandang mata, tidak terkesan kuno dan sering menjadi objek wisata menghabiskan waktu yang ngetren di sosial media.

Agatha mendengus, tangannya menekan topi yang baru disewanya itu untuk memastikan tidak jatuh nanti. Baru kemudian menyusul Arthur yang mulai jauh di depan, tetapi tidak tergesa-gesa untuk melakukan hal itu. Karena Agatha memilih menikmati sore yang indah ini, berharap bahwa waktu berhenti sesuai kehendaknya. Hitung-hitung mengukir memori menyenangkan sebelum waktu menyebalkan seperti kembali ke rumah.

Karena suasana hatinya sedang baik, dikarenakan Arkan yang membelikannya es krim, lalu Arthur yang mengajaknya jalan-jalan, Agatha terus tersenyum lebar. Bahkan beberapa orang yang dilewatinya 'kecipratan' senyuman menawan itu. Bapak-bapak yang sempat mendapatkan rejeki sore tampak malu, baper. Tak menyangka dapat melihat salah satu keindahan yang Tuhan ciptakan.

"Lama banget, Tha."

"Duh, Arthur, emang cepet-cepet mau kemana, sih? Mau lomba sepeda sepuluh kilometer? Kan nggak? Santai dong, santai."

Arthur terkekeh, dengan iseng membawa topi Agatha dan memakainya. Tentu saja terlihat konyol, karena topi itu diperuntukkan untuk perempuan. Terlihat jelas dari renda biru yang membentuk bunga.

"Ih, Arthur! Siniin!" Agatha merebut lagi topinya dengan bibir mengerucut sebal, ia menjulurkan lidah mengejek dan kembali mengayuh sepedanya menjauh.

Arthur tertawa. Kalau boleh jujur, sore ini adalah sore yang paling menyenangkan baginya.

Setelah beberapa lamanya berkutat dengan kesana-kemari mengayuh sepeda, Agatha dan Arthur berhenti karena hari sudah mulai gelap. Walaupun keadaan terang benderang karena lampu warna-warni​ yang terlihat menarik.

Agatha cemberut, ketika harus berpisah dengan sepeda biru dan topi berenda berwarna senada. Ia sangat menyukai warna tersebut, apalagi biru langit. Bagi Agatha, hal-hal berwarna biru membuatnya tenang. Seperti air laut biru yang jernih, misalnya.

Kamarnya yang kecil pun dicat dengan warna biru oleh dirinya sendiri. Dan yang paling ekstrim, dulu Agatha pernah iseng mewarnai sampul buku rapor dengan warna kesukaannya itu. Absurd.

"Kok cemberut, Tha? Nggak seneng gue ajak jalan?"

Agatha menggeleng, masih menatap topi tadi dengan sorot tidak rela. "Topi," rengeknya.

"Hah? Topi?" Arthur mengernyit tidak mengerti, baru kemudian mengangguk mengerti.

"Lo mau topinya?"

Agatha langsung mengangguk. "Mau."

"Kalo gitu ayo, gue beliin."

"Eh? Beneran?"

"Beneran, tapi yang jualan topi begituan bukan di sini. Tapi di sana."

"Makasih, Arthur." Agatha menyunggingkan senyum terbaiknya, membiarkan Arthur terpaku. Larut dalam pesona Agatha yang seakan tidak pernah hilang.

***

Senyummu yang indah membuatku terperangah, gundah dan merasa resah.

Resah karena takut tak bisa melihatnya lagi, takut tak bisa memiliki, dan menjadikanmu sebagai penjaga hati yang sepi ini.

***

Arkan membawa semangkuk pop corn berwarna biru dari dapur ke kamarnya, meletakkan benda itu di atas meja belajar di samping laptop yang layarnya sudah menyala dari tadi.

Artha (SUDAH TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang