• Artha #8 •

273K 24.8K 1K
                                    

Arkan menutup mulutnya dengan buku, menyembunyikan fakta bahwa ia saat itu sedang menguap lebar ketika mendengarkan penjelasan panjang lebar mengenai pelajaran biologi​. Arkan tidak pernah menyukai pelajaran ini.

Karena menurutnya banyak materi yang tidak dipahami sekaligus dianggapnya tidak terlalu penting. Misalnya, tentang reproduksi jamur. Memangnya ia akan kawin dengan jamur?

Untungnya, ketika Pak Aldan sedang menjelaskan suatu materi ya cukup panjang, suara bel yang berbunyi berhasil memotong ucapannya.

Pak Aldan sendiri langsung membereskan barang-barangnya​, melempar salam seadanya dan keluar dari kelas dengan cepat.

Arkan menguap lagi, salahkan saja apa yang dilakukannya malam tadi. Ia menonton tujuh episode sekaligus sebuah series produksi Amerika tentang bullying hingga tengah malam. Arkan yang antusias menonton sempat dihentikan ibunya yang menyuruhnya untuk pergi tidur, lalu ayahnya yang menegur sehingga Arkan terpaksa menghentikan kegiatannya itu.

Meskipun jam setengah empat ia bangun kembali untuk menyaksikan satu episode yang tak sempat ia tonton.

"Kantin," ajak Fariz sambil mencolek lengan Arkan, alisnya naik.

"Ayo, sekalian gue mau beli apel."

Keduanya kemudian berjalan bersama menuju kantin, meninggalkan Sigit yang tertinggal karena bersin. Langkah mereka yang cepat membuat kantin terasa seperti tiba-tiba ada di depan mata, suasananya yang ramai tak mengherankan. Malah janggal kalau tiba-tiba kantin menjadi sepi, apalagi keadaan kantin yang luas membuat segalanya terlihat lebih dalam perspektif masing-masing.

Arkan menghampiri penjual salad buah, menampakkan senyum yang langsung disambut anggukan mengerti. Bisa dibilang Arkan sering membeli salah satu buah yang digunakan dalam salad, yang paling sering ya apel.

Arkan menggigit apelnya dan kembali ke meja di mana Fariz dan Sigit berada, mereka tengah fokus menyantap seblak pedas dengan bulir-bulir keringat kecil yang menetes di pelipisnya.

Arkan duduk, mengeluarkan ponsel dari saku celananya dan membuka akun Instagram miliknya. Memerhatikan satu persatu komentar pada foto yang diunggahnya.

Arkan tidak mengerti mengapa mereka begitu menuntutnya untuk meng-upload potret wajahnya, memangnya ada yang istimewa?

"Oi! Mana susu cokelat gue?"

Arkan mendongak dan menatap Agatha, cewek itu mengulurkan tangan dengan maksud menagih sesuatu. Dagunya terangkat, menantang. Sebuah senyum tipis terlukis di wajahnya yang seperti boneka.

Iya boneka, boneka santet.

"Susu cokelat? Apaan?"

Arkan kini dapat merasakan tatapan penasaran yang ditujukan oleh Fariz dan Sigit, sejenak mereka menunda aktivitas memakan seblaknya karena menunggu apa yang akan terjadi selanjutnya.

"Kan tadi pagi lo udah ngomong kalo bakalan beliin gue susu cokelat, lupa?" Agatha duduk di bangku panjang di samping Arkan, menopangkan dagu. Alisnya yang rapi terangkat.

"Oh. Nih duitnya." Arkan merogoh sesuatu dari sakunya, tetapi yang keluar bukanlah selembar uang. Malah tangannya yang terkepal seperti hendak ​meninju.

"Beli sendiri, nggak modal."

Agatha berdesis, menggebrak meja dengan tangan kirinya. Kepalanya terasa mendidih karena dipermainkan seperti ini. "Gue serius, Arkan."

"Gue juga serius. Emang lo siapa? Sampe minta-minta sama gue?"

"Tapi lo kan udah janji tadi pagi," ucap Agatha tak ingin kalah, ia sendiri juga tak terima dengan penolakan Arkan.

Artha (SUDAH TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang