"Masih aja ngurusin buku?" Agatha mengomel di belakang Arkan, napasnya pendek-pendek gara-gara mengejar langkah cowok itu yang sangat cepat seperti sedang mencari sumber air. Padahal kini mereka berada di salah satu mall di kota yang berjajar seperti tak ada ujungnya.
Baru saja keluar dari kafe dengan perpustakaan kecil, Arkan mengajak Agatha lagi ke tempat yang berisi banyak benda yang diributkannya tadi yakni toko buku.
"Banyak ngomong lo ah." Arkan membawa satu buku dari rak, sempat membaca sinopsis di belakangnya dan segera berjalan menuju kasir.
Setelah menunggu Arkan membayar, mereka pun segera berjalan menjauhi toko buku. Arkan kini sudah memakai jaketnya lagi, sedangkan buku yang baru ia beli kini dibawa oleh Agatha. Dengan alasan pembantu itu harus menuruti apapun ucapan majikan.
Agatha mendengus, ingin sekali ia memukul kepala Arkan dengan buku tebal ini.
Lama-lama Agatha semakin menyesal sudah menantang Arkan.
"Woi Arkan."
"Apaan?"
"Gue jadi pembantu lo cuma sebulan ya, dan tolong dong jangan semena-mena gini aama gue."
Arkan mendelik. "Yang nantangin gue siapa coba? Terus sekarang siapa yang protes? Uh pinter banget ya."
"Tapi ya nggak gini juga, Arkan."
"Berisik."
Nada bicara Arkan yang begitu tajam langsung membuat Agatha bungkam, dia mengerucutkan bibir dan mengerjap beberapa kali dengan ekspresi sedih. Sedetik kemudian Agatha pura-pura mengeluarkan suara seperti orang yang sedang menangis.
Arkan menoleh dengan cepat, membelalakkan mata ketika melihat Agatha menutup wajah dengan tangan, terdengar suara terisak yang membuat Arkan menelan saliva.
"Tha?"
"Lo mah ... jahat sama gue ...."
"Tha, ini udah konsekuensi lo sebagai pihak yang ngajuin tantangan. Kenapa lo harus mewek kayak gini sih?"
"Tapi jangan ... bentak gue dong."
"Agatha, berisik."
"Tuh kan ... gue dibentak ... lagi."
Agatha diam-diam terkekeh, tidak terlihat karena masih menutupi wajah dengan tangan. Ia berharap Arkan merasa tidak enak, lalu menghapus kesepakatan bahwa cowok itu tentang menganggapnya sebagai pembantu.
Arkan melihat ke sekitar, beberapa orang tampak memperhatikan dengan pandangan tertarik. Mereka pasti mengira bahwa ia telah membuat Agatha si cewek tengil sedih dan menitikkan air mata.
Arkan berdecak, ia tahu Agatha hanya pura-pura. Oleh karenanya, Arkan merebut jinjingan buku miliknya dan segera berjalan menjauh dengan kecepatan seperti teman yang punya hutang bila dikejar.
"Eh?" Agatha mendongak, menatap kepergian Arkan yang melesat. Agatha menghentakkan kaki kesal, ternyata rencananya gagal.
"Arkan tungguin gue!"
***
Arkan mendengus, ia menggigit suapan pertama sate ayamnya dengan mata yang tak lepas dari Agatha yang duduk di depannya. Bukan karena ia terpesona oleh cewek itu, tentu saja tidak. Bukan juga karena Arkan melihat Agatha sesuatu yang menarik untuk dipandang. Tetapi cara makannya yang memalukan membuat Arkan jengah.
Mereka berdua kini sedang berada di tempat makan pinggir jalan dadakan alias hanya ada saat waktu-waktu tertentu. Suara klakson mobil di jalanan, obrolan pengunjung lain, hingga asap ketika daging-daging yang ditusuk itu dibakar nyatanya tidak mengganggu sama sekali. Malah menambah perasaan nikmat saat memakan hidangan, mungkin juga karena lelah yang mendominasi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Artha (SUDAH TERBIT)
Teen FictionPLAGIATOR DILARANG MENDEKAT 'Baskara dalam dunianya yang terluka.' Kalau kata Agatha, Arkan itu Cabe Man. Cowok dengan mulut sepedas cabai, sangat pintar menari serta memiliki fisik yang menawan, setengah cantik dan setengah ganteng. Agatha menjuluk...