This beautiful boy is mine. Deal with it.
Agatha.
***
Kalau diijinkan, maka Agatha akan menyusun tiga malam paling menyeramkan yang pernah terjadi dalam hidupnya.
Yang pertama, tentu saja, adalah malam di mana kebakaran itu terjadi. Bukan hanya merebut Bunda darinya, tetapi juga merebut harapan, asa dan mimpi yang sudah Agatha susun untuk dilakukan bersama Bundanya itu. Juga mendatangkan luka yang tak bisa melupa.
Yang kedua, adalah malam yang berkali-kali dialami oleh Agatha. Lorong rumah sakit, tubuh lemas tak terkira dan air minum kemasan yang sudah sedikit isinya. Sendirian, tidak ada yang datang untuk sekadar melempar senyum padanya.
Dan sekarang, malam paling menyeramkan ketiga yang Agatha alami terjadi di ruang duduk rumah Arkan.
Kalau dilihat sepintas, tidak ada yang bisa dijadikan patokan sehingga Agatha dapat memasukkan waktu itu ke daftarnya yang terkesan negatif. Namun, lampu terang benderang, buah-buahan di meja hingga karpet bulu tebal tidak bisa mengalahkan aura seseorang yang duduk di hadapannya.
Sungguh, menurut Agatha, Samudra seratus kali lebih menyeramkan dari Masha ngik ngik ngik atau Valak yang justru kurang sapuan make up.
Agatha tidak bisa menyembunyikan kegugupannya. Ia menunduk, menjentikkan jari atau sesekali melihat ujung rambutnya, apakah bercabang atau tidak.
"Agatha."
Deg. Efek yang ditimbulkan dari Samudra yang memanggilnya saja sudah demikian besar.
"Iya..., Om?" Agatha mengernyit, agak aneh rasanya memanggil Lalisa Mama sedangkan Samudra justru Om. Tetapi, ia segan melakukan itu, Samudra 'kan tidak pernah berbicara soal panggilan yang harus diucapkannya.
"Kamu suka Arkan?"
Waduh, keluh Agatha dalam hati. Mengapa topik pembicaraan Samudra begitu berat seperti ini? Ini perkara hati, bukan main-main.
"Su-suka."
"Kalau suka, kenapa jawabnya gagap?"
"Ampun dah gue punya mertua serem begini."
Sedetik kemudian Agatha menaikkan kedua alis, agak bingung karena kini posisinya dengan Arkan itu terbalik. Biasanya kaum adam yang 'disidang' oleh calon mertua, bukan perempuan.
Lagipula Agatha tergagap bukan karena ia berdusta dalam menjawab, melainkan karena Samudra sendiri.
"Ini om-om ganteng kok galak bener, sih," rutuknya.
"Nggak papa, Om."
"Kenapa?"
Agatha awalnya hanya melongo karena tidak mengerti, tetapi akhirnya ia paham bahwa Samudra meminta alasan mengapa ia menyukai Arkan.
Agatha mencoba menyusun kalimat yang dirasa tepat, ia harus hati-hati bicara dengan orang berotak cerdas seperti Samudra. Yang ada nanti ia terpojok karena kata-kata yang Agatha akan menjadi Boomerang, senjata makan nyonya. Eh, tuan.
Tapi senjata makan nyonya bagus juga, Agatha 'kan perempuan.
"Dia... baik," jawab Agatha sebagai permulaan.
Ekspresi Samudra tidak mudah dibaca karena terkesan datar. "Arkan baik?"
"Nggak juga, sih, omongan dia pedes banget kayak seblak di kantin sekolah."
"Terus kenapa kamu bilang Arkan baik?"
Ingin sekali Agatha melompat dari lantai dua kalau begini jadinya.
"Tapi galak-galak gitu Arkan maksudnya baik kok, Om."
Samudra yang diam Agatha artikan sebagai permintaan penjelasan lebih.
"Dia suka bentak aku kalau belum sarapan, dia marah kalo pakaian aku kata dia kurang pantes. Gitu-gitu pokoknya, Arkan malu-malu cabe, Om."
Kini, sebuah kerutan yang terpatri di kening Samudra seolah menyerukan situasi bahaya.
"Eh, maksud saya cabe karena omongan Arkan pedes," tambah Agatha cepat-cepat, tidak mau Samudra salah paham.
Tidak lucu kalau Samudra menganggap Agatha melihat anaknya sebagai manusia yang suka ganjen.
"Arkan suka kamu?"
Di telinga Agatha, pertanyaan Samudra itu terdengar seperti mengejeknya. "Suka dong, Om. Dia udah pernah bilang kalo dia suka sama aku kok, meski emang dia nggak ada so sweet so sweet-nya."
Loh, mengapa Agatha jadi curhat kepada Samudra?
"Keluarga kamu tahu kamu di sini?" tanya Samudra, mengalihkan pembicaraan ke topik yang sensitif dengan santai.
"Ng... gak."
Agatha sudah takut jika Samudra akan meminta Agatha untuk meninggalkan rumahnya dan pulang. Namun, agaknya hal itu tidak terjadi.
"Baguslah," ucap Samudra.
Agatha menyipit. "Maksud Om?"
Samudra mengembuskan napas bosan. "Jujur, apa yang terjadi di keluarga kamu itu menarik. Kalau pemecahan masalah itu jadi selingan di antara rutinitas monoton saya, itu akan menyenangkan."
"Om bener-bener mau bantu aku?"
"Kamu pikir saya main-main?" tukas Samudra tajam.
"E-eh nggak, bukan gitu maksud aku."
"Lagipula, Lalisa yang meminta sendiri. Dan buat saya, permintaan dia itu perintah mutlak."
Nada bicara Samudra datar, namun bagi Agatha ucapan ayah Arkan itu terdengar romantis.
"Papa nggak ngapa-ngapain Agatha, kan?"
Agatha menoleh dan menatap Arkan yang muncul dengan raut wajah seperti tidak suka. "Papa nggak bilang-bilang kalo mau ngomong empat mata sama dia," tambah cowok itu.
"Memangnya Papa perlu ijin dari kamu?"
"Perlu!"
Samudra menyunggingkan senyum tipis. Dia berdiri, melangkah melewati Arkan setelah menepuk pundak anaknya itu. "Anak Papa yang paling cantik ternyata sudah besar."
"Papa!" seru Arkan kesal, sedangkan Agatha hanya terkikik geli. "Ngapain lo ketawa-ketawa kayak gitu?!"
"Nggak kenapa-kenapa, cantik." Agatha menjulurkan lidah. "Suka-suka gue dong."
"Ngomong apa lo tadi?"
Agatha berjinjit dan mengecup pipi Arkan, sebab merasa gemas sendiri.
Setelah itu, Agatha buru-buru kabur, daripada kena amukan Arkan. Si monster cabe.
"Agatha!"
***
Akhirnya feel-nya sedikit demi sedikit balik lagi....
Q : pakaian kayak gimana kalo misalnya sampul Artha sejenis kayak sampul novel MPBB?
Ok, see you:))
KAMU SEDANG MEMBACA
Artha (SUDAH TERBIT)
Teen FictionPLAGIATOR DILARANG MENDEKAT 'Baskara dalam dunianya yang terluka.' Kalau kata Agatha, Arkan itu Cabe Man. Cowok dengan mulut sepedas cabai, sangat pintar menari serta memiliki fisik yang menawan, setengah cantik dan setengah ganteng. Agatha menjuluk...