"Arkan," panggil Agatha lagi dengan senyum centil yang jelas dibuat-buat, melambai-lambai dan menghampiri Arkan dengan cepat. Ia berputar dan memamerkan tubuhnya yang dibalut jaket hitam milik Arkan.
"Arkan, gue tambah cakep nggak pake jaket lo? Iya kan? Iya dong!" seru Agatha. Agak aneh, sebab dia yang bertanya dan dia juga yang menjawab.
Arkan mendengus, turun dari sepeda dan menuntun benda itu menuju halaman belakang sekolah. "Jaket gue sih cakep, tapi lo nggak."
Agatha cemberut, menatap galak ke sekitar ketika menyadari beberapa orang tampak memerhatikan mereka berdua. Siswa-siswi itu langsung memalingkan muka.
"Jangan bohong gitu ah, kan katanya lo siap ngelindungin gue, hehe."
Arkan mendelik. "Apa sih."
"Kan lo ngomong gitu kemarin? Ih, Arkan. Senyum dong, jangan cemberut terus, nanti gantengnya ilang."
"Hah? Lo bilang apa tadi?"
"Jangan cemberut terus, nanti gantengnya ilang."
"Ganteng? Siapa? Gue?" heran Arkan sambil menunjuk dirinya sendiri.
"Iya lah."
"Gaje amat lo pagi ini."
"Gue emang begini tiap hari, Arkan. Lo aja yang nggak nyadar."
"Terserah lo."
Arkan memarkirkan sepedanya di tempat biasa, kembali keluar dari sana dan mengernyit ketika Agatha tiba-tiba memeluk lengannya. "Lo kenapa sih? Kesurupan macan?"
"Nggak, pengen manja-manjaan sama Arkan, hehe."
"Lepasin."
"Nggak."
"Lepasin."
"Ih jangan galak-galak gitu dong, nggak mau."
Arkan mendengus, hanya bisa pasrah dengan keadaan di mana Agatha tampak agresif dengan terus memeluk tangannya. Suatu keadaan yang sangat aneh dan menarik ketika melihat seorang Arkan diam saja padahal diperlakukan seperti itu, apalagi oleh Agatha yang terkenal bandel. Biasanya dia akan mengomel dan tanpa ragu melayangkan ungkapan pikiran yang menyakitkan hati.
Arkan sebenarnya merasa risi, tetapi Agatha benar-benar bertindak seperti benda lengket yang tak mau menjauh. Seperti lem yang kuat menempel dan sulit dilepaskan. Kalau saja bisa, ia ingin sekali menendang cewek itu hingga terbang sekalian.
Beberapa pandangan tak biasa memerhatikan mereka berdua, Arkan bersikap seperti tidak peduli, tetapi dalam hatinya ia kesal dan malu luar biasa. Arkan benar-benar tidak suka mendapat tatapan semacam itu, ia juga merasa tidak nyaman.
"Agatha."
"Apaan?"
"Jaket gue nggak jadi bau minyak gosok kan?"
Agatha mendelik seraya berdecak pelan, mengapa cowok ini begitu sering berprasangka buruk padanya?
"Duh, Arkan. Lo pikir gue itu tukang urut sampe jaket lo jadi bau minyak gosok? Bawaannya lo negative thinking terus deh sama gue, heran. Jaket lo wangi kok, nih hirup baunya sendiri."
Arkan agak membungkuk, menuruti apa yang Agatha ucapkan. Ia menghirup bagian bahu jaket yang dipakai Agatha, tetapi apa yang dilakukannya itu membawa efek tersendiri bagi cewek itu.
Agatha mematung, jantungnya berdebar kencang tak bisa dikendalikan lagi, ada perasaan aneh seperti gugup dan cemas yang jarang dialaminya, lalu pipi terasa panas dan akhirnya bersemu merah.
Arkan sangat dekat, hingga Agatha bisa merasakan embusan napasnya saat dia kembali tegak.
"Bau susu stroberi, bagus. Tapi gue bakal lempar lo ke Pluto kalo jaketnya kenapa-kenapa."
"Ih galak, ta-tapi nyatanya ng-nggak kan?"
Agatha merutuki dirinya sendiri ketika ucapan itu keluar, mengapa harus terbata-bata? Mengapa bicaranya harus tidak lancar? Bagaimana kalau Arkan tertawa mengejek? Bagaimana kalau Arkan semakin memojokkannya.
"Kenapa jadi gitu ngomongnya? Lo ganti nama jadi Agatha gagap?"
Agatha mendengus. "Ngomong sama lo itu belibet tau, ribet, rumit."
"Salah siapa ngomong sama gue."
Agatha mengibaskan tangan yang tidak memeluk lengan Arkan. Sudahlah, berbicara dengan Arkan memang tak akan ada akhirnya. Kalaupun ada, siapapun akan kalah telak dalam pembicaraan sebab tak tahan dengan ucapan super pedas yang dilayangkan Arkan.
"Udah, pergi sana. Risi gue disentuh-sentuh sama lo, bisa-bisa gue rabies lagi."
"Lo pikir gue apaan? Hih itu mulut pengen banget ya gue tonjok."
"Siniin jaket gue."
Agatha menggeleng kuat-kuat, melepaskan pelukan tangan dan memeluk dirinya sendiri, seperti anak kecil yang mainan kesayangannya akan dibawa oleh orang lain. "Nggak mau!"
"Ngelunjak. Siniin jaket gue, Agatha."
Agatha menggeleng lagi. "Biarin gue pake jaket ini."
Arkan mendesah pelan. Biasanya ia jarang sekali meminjamkan sesuatu kepada orang lain, Aland saja tidak. Kembarannya itu lebih tepat disebut membawa sesuatu tanpa ijin, bukannya meminjam.
Arkan enggan meminjamkan barangnya karena pasti benda itu kembali dengan keadaan yang berbeda. Seperti novelnya yang kembali dengan keadaan lecek, terlipat atau bahkan sobek.
"Ya udah sana."
Arkan berbalik, hendak masuk ke dalam kelasnya tetapi Agatha mengikuti dari belakang. Arkan mengernyitkan dahi melihat itu, bukankah mereka beda kelas?
"Ngapain lo ngikut-ngikut gue?"
"Pengen deket terus sama Arkan, hehe."
"Lo kenapa sih? Aneh."
"Gue? Sehat kok."
Arkan menempelkan punggung tangan di dahi Agatha, merasakan suhu cewek itu. Tetapi aneh, tidak terasa panas ataupun hangat. Ia kira Agatha sedang sakit hingga bertindak aneh hari ini.
Agatha lagi-lagi mematung, menelan saliva dengan susah payah dan mengerutkan kening. Mencoba mengatur napas yang tiba-tiba sukar dilakukan.
Arkan tersenyum miring. "Nggak panas, berarti lo emang dasarnya nggak waras sih."
Gue nggak waras gara-gara lo, Arkan, batin Agatha sembari mengembuskan napas perlahan.
Arkan duduk, merogoh sesuatu dari dalam tas dan mengeluarkan dua roti dengan selai stroberi. Menyerahkan salah satu ke arah Agatha yang memiringkan kepala.
"Lo mau?"
Agatha menerima roti itu, duduk dan menggigit roti sedikit, menatap Arkan yang tampak biasa saja dengan tatapan nanar.
Arkan, gue baper. Please, tanggung jawab.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Artha (SUDAH TERBIT)
Novela JuvenilPLAGIATOR DILARANG MENDEKAT 'Baskara dalam dunianya yang terluka.' Kalau kata Agatha, Arkan itu Cabe Man. Cowok dengan mulut sepedas cabai, sangat pintar menari serta memiliki fisik yang menawan, setengah cantik dan setengah ganteng. Agatha menjuluk...