• Artha #12 •

326K 27.9K 2.3K
                                    

Sherin menutup bukunya setelah selesai mengerjakan pekerjaan rumah yang memusingkan. Kadang-kadang ia berpikir kalau para guru sedikit tidak manusiawi dengan memberi terlalu banyak tugas, kalau sedikit sih Sherin juga tidak akan mengeluh.

Masalahnya hampir semua guru memberi tugas yang panjang dan lama pengerjaannya pula.

Sherin kemudian beralih membuka buku harian yang penuh dengan curahan hati mengenai apapun yang dilaluinya setiap hari. Segala hal tertulis di​ sana, mulai dari keinginan untuk sembuh yang selalu ia doakan setiap waktu, keinginannya untuk dekat dengan Agatha, hingga ungkapan rasa suka kepada seseorang yang sudah lama ia sukai.

Untuk hal kedua, Sherin benar-benar tulus menginginkan hal itu. Ia ingin dekat dan sekadar berteman dengan Agatha, jika hubungan keluarga tak memungkinkan. Tetapi respon negatif yang selalu didapatkan membuat Sherin pesimis, seakan kemungkinan itu sudah benar-benar tertutup dan tak dapat diwujudkan.

Sejak kecil pun Agatha seperti itu, selalu menolak dan menghindar ketika didekati. Jika Sherin tetap keukeuh misalnya, maka Agatha akan mengomel, baru kemudian melangkahkan kaki menjauh.

Kalau boleh berharap, Sherin ingin hubungannya dengan Agatha baik-baik saja. Seperti kakak adik lainnya, saling bertegur sapa dan menegur jika ada yang berbuat salah. Bukannya ​saling mengabaikan seperti sekarang.

Sherin mendesah, mulai menulis ungkapan hati kepada orang yang ia sukai. Sudut bibirnya tertarik ke atas sejenak kala melakukan itu, ada perasaan aneh yang menyenangkan, lalu hatinya yang menghangat.

Kamu memang bukan atlet bela diri, kapten basket, anak band ataupun siswa dengan otak paling cemerlang di sekolah.

Kamu juga bukan si tampan yang diidam-idamkan seantero sekolah, bukan pula bad boy yang herannya selalu disukai banyak orang.

Kamu bukan​ pula si ramah yang selalu tersenyum ramah kepada siapapun yang menyapa, sikapmu justru selalu terlihat kikuk walaupun sebenarnya wajahmu lebih pantas tersenyum sombong. Tetapi kamu tidak melakukan itu.

Kamu tidak tinggi hati dengan keadaanmu yang hampir sempurna. Keluarga yang utuh, keadaan finansial yang menjanjikan, lalu fisik yang rupawan.

Lalu, ketika aku melihat tubuhmu bergerak sesuai irama yang terdengar, maka semua perhatianku terpusat ke padamu.

***

Arkan mendelik ketika Agatha duduk di bangku yang sama dengannya di kantin, tanpa rasa bersalah cewek itu mengerjapkan matanya beberapa kali. Sok imut, menurut Arkan.

Kejadian di mana Agatha duduk di sebelah Arkan berhasil membuat Sigit dan Fariz bersorak seolah klub bola kesayangan mereka menjuarai sebuah liga bergengsi, Sigit bahkan memukul-mukul meja.

"Eaaakkk Artha alias Arkan Agatha! Couple fenomenal abad ini kini sedang bermesraan Bung Fariz, terlihat saling menatap penuh cinta. Tak lu-"

"Bacot! Diem nggak?!" Arkan hampir saja melempar sendok yang sedang dipegangnya karena kesal.

"Sensi amat si bapak, si Agatha juga biasa aja. Lagi PMS, Mas?"

Arkan mendengus, menoleh ke arah Agatha yang masih memasang ekspresi biasa saja. "Ngapain lo duduk di sini?" tanya Arkan dengan nada tajam.

"Suka-suka gue dong. Jangan galak-galak gitu ah."

Arkan berdecak, lalu memilih memakan baksonya kembali.

Agatha menyisir rambutnya dengan jari, menatap cermin kecil yang selalu ia bawa kemana-mana. Melihat itu, Arkan berdecih.

"Cantik juga nggak, sok-sokan ngaca."

Agatha mendelik. "Duh, Arkan. Gue itu salah satu most wanted SMA ini, ya jelas lah gue cantik."

"Cantik hasil dempul make up," cibir Arkan. Ia mengambil tisu yang tersedia di meja kantin dan mengusap bibir Agatha dengan penuh tenaga, beberapa kali menekan sehingga membuat Agatha sempat mengaduh.

"Mata lo juga nih."

Setelah puas mengusapkan tisu kuat-kuat di bibir, Arkan beralih ke mata Agatha. Cewek itu memekik dan menjitak kepala Arkan keras.

"Sakit bego!" Agatha mengecek wajahnya lagi di cermin, terlihat mengerikan karena sudah 'dirusak' oleh Arkan.

"Jauh-jauh​ sana," ucap Arkan sembari menggerakkan tangannya dengan gestur mengusir.

"Jangan ngomong gitu, Arkan. Nanti malah deket-deket loh," goda Sigit yang masih keukeuh akan pasangan di depannya itu.

"Amit-amit."

"Nanti amin-amin."

Arkan mendengus. "Mau lo apaan sih duduk di sini?"

"Soal tantangan itu."

"Kan gue udah nolak, Agatha. Lu bolot atau gimana sih?"

"Gue nggak gampang nyerah," aku Agatha. Merasa bangga dengan salah satu sifatnya itu.

"Bukan nggak gampang nyerah, tapi maksa."

"Pokoknya itu. Lo nerima tantangan gue atau nggak?"

"Nggak."

"Ih cemen banget."

"Bodo amat, Tha."

"Gini ya, Arkan. Cowok itu harus penuh percaya diri, minimal sama diri sendiri. Kalo ginian aja nggak pede gimana lo mau bersaing di dunia kerja nanti? Masa mau ngalah gitu aja? Nggak kan?"

"Sok-sokan​ bahas dunia kerja. Lo sendiri gimana hah? Itu absen bolong-bolong gimana mau masuk perguruan tinggi nanti? Gimana, Tha? Gimana?!"

Agatha mengembuskan napas pelan. Sulit untuk berbicara dengan Arkan, cowok itu pintar sekali memainkan kata sehingga Agatha kebingungan untuk membalas.

"Intinya lo mau nerima tantangan gue atau nggak? Kesempatan terakhir nih."

Arkan meletakkan botol air mineral yang ia minum tadi dengan setengah membanting. "Sekali nggak ya enggak. Gue nggak peduli sama kesempatan terakhir kek, apa kek. Ujung-ujungnya malah lo pasti nawarin lagi."

"Ar-"

"Gue boleh gabung?"

Baik Arkan, Agatha, ataupun Sigit dan Fariz menoleh ketika mendengar seseorang berbicara.

Arkan menaikkan alis, karena tidak begitu mengenal cowok yang kini duduk di sebelah Agatha. Siapa ya namanya? Arthur?

"Bangku masih banyak yang kosong loh," sinis Sigit yang tidak suka ketika Arthur dekat-dekat dengan Agatha. Ia masih memproklamirkan diri sebagai Artha atau Arkan Agatha shipper garis keras.

"Eh? Nggak boleh ya?" Arthur menggaruk kepalanya yang tidak gatal dengan gusar.

"Boleh kok, di sini aja." Arkan berucap sembari bangkit, membawa mangkuk bakso yang isinya sudah habis.

Melihat kepergian Arkan, Agatha manyun.

"Kenapa harus pergi sih? Kan seru debat sama itu cowok melambai," batinnya dalam hati.

***

Artha (SUDAH TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang