PROLOG
"Kamu kenapa sih, Wi?" pertanyaan itu keluar dari mulut seorang pria jangkung dengan tubuh berisi yang sedang duduk di hadapanku. Aku mulai merasa seperti insinyur di laboratorium cinta yang gagal menciptakan formula yang sempurna untuk hubungan ini. seolah-olah aku sedang mencoba membangun pesawat ruang angkasa dari kertas lipat, namun tanpa panduan yang jelas.
Pria di depanku, Ares, memperlihatkan ekspresi kebingungan yang khas. Wajahnya yang biasanya ceria kini terlihat penuh pertanyaan yang menggelitik pikiranku. Dia selalu terlihat optimis, bagaimana mungkin aku akan memberitahunya bahwa aku ingin mengakhiri hubungan ini?
Namun, pikiranku telah membuat keputusan sebelum mulutku bisa mengucapakannya. Sudah hari ke-20, dan rasanya masih seperti mengendarai mobil tanpa bahan bakar, hanya berputar-putar di satu tempat.
Aku menghela napas panjang, berpikir bagaimana cara menyampaikan bahwa hubungan ini seperti jalan bebas hambatan yang ternyata berujung pada jalan buntu. Entah sudah berapa kali aku mencari alasan untuk tetap bertahan, untuk memberikan kesempatan pada hubungan ini. tapi, semuanya berujung pada kekosongan dan kebingungan yang semakin dalam.
Bosan. Kata itu sudah mendarah daging dalam diriku, seperti mantra yang terus diucap-ucap berulang-ulang. Sebuah kata yang sering kuucapkan dikala memutuskan sebuah hubungan. Aku sering sekali menjadi tokoh jahat di cerita orang lain, jahat karena dengan mudahnya memutuskan sebuah hubungan dengan alasan bosan. Jahat memang, seharusnya aku tidak begitu. Tapi aku pernah membaca bahwa bosan itu adalah ciri khas seorang jenius. Mungkin aku hanya terlalu jenius untuk hubungan ini. Tidak, tentunya aku hanya bercanda. Aku hanyaingin menenangkan diriku yang mulai tegang karena melihat raut wajahnya yangsemakin bertanya-tanya.
"Ar, aku kayanya gak bisa terusin ini lagi deh." Ucapku pelan, bersiap-siap menghadapi ekspresi yang campur aduk dari wajahnya.
Pria di depanku itu terdiam, matanya mencari-cari makna di balik kata-kataku. Aku tahu dia tidak akan menyukai apa yang akan ku katakan selanjutnya. "Maksudnya gimana?" tanyanya dengan ekspresi bingung, seolah-olah mencoba memecahkan teka-teki yang rumit.
Aku menggigit pelan bibir bawahku, lalu kembali bersuara "Kita putus aja ya." Ucapku, sedikit membenarkan posisi duduk agar terlihat lebih "serius" dalam menyampaikan keputusan ini.
Dia terdiam sebentar sebelum kembali menatapku, "kenapa?" tanyanya.
"Aku bosen." Jawabku jujur, sambil berusaha menemukan alasan yang tidak terlalu menyakitkan untuknya, "selama kita pacaran, aku udah coba buat sayang sama kamu, tapi ternyata susah."
Dia menatapku tidak percaya, "Wi, kita baru pacaran kurang dari sebulan, kamu udah menyimpulkan kaya gitu?" ucapnya dengan nada yang terdengar kecewa. "Ini setengah jalan pun belum, Wi."
Aku terdiam. Benar, setengah jalan pun belum ada, tapi aku sudah ingin mengakhirinya. Perubahan status dari teman menjadi kekasih membuatku tidak nyaman. Tapi itu tentu saja bukan sebuah alasan. Di luar sana banyak sekali sepasang sahabat yang berakhir menjadi sepasang kekasih, bahkan menjadi sepasang suami istri, itu bukan lagi hal yang aneh. Kenapa aku merasa itu adalah sesuatu yang tidak nyaman?
"Mungkin dari awal yang serius jalanin ini cuma kamu, sedangkan aku cuma diem di tempat aja." Ulasku jujur. Dia terlihat tidak terima, mimik wajahnya begitu jelas terlihat kecewa, "aku yang salah sebenernya, karena udah ngasih kamu celah buat masuk. Padahal, aku udah tau resikonya kaya gimana." Lanjutku.
Dia mengehela nafas pelan, "ya udah." Ucapnya. "aku juga gak bisa maksa kamu buat sama aku, harusnya dari awal aku tau kalo kamu cuma coba-coba aja." Lanjutnya.
Aku tidak mengelak, ucapannya benar. Dari awal aku hanya ingin mencoba saja, tidak lebih. Di saat berhubungan dengan orang yang baru tidak pernah berhasil, apa salahnya aku mencoba dengan orang yang sudah ku kenal sejak lama? Tapi, nyatanya aku juga tidak berhasil dengan orang lama maupun orang baru.
"Kita masih temen, kan?" tanyanya, meraih sebelah tanganku untuk dia genggam.
Rasa mati rasaku sepertinya sudah menggerogoti diriku sejak lama, mau dengan orang bagaimanapun aku masih saja tidak ada perkembangan. Semuanya masih sama, terasa hampa dan tidak ada kupu-kupu yang berterbangan di perut, tidak ada juga tangan gemetar dengan jantung yang berdegup lebih kencang karena sentuhan tipis dari lawan jenis.
Aku mengangguk sebagai jawaban, ku tarik tanganku perlahan sembari mengubah posisi genggaman tangan menjadi sebuah jabatan kecil.
"Aku masih temen kamu yang biasanya, gak ada yang berubah sama sekali." Ucapku.
Bohong, nyatanya aku akan berubah. Aku akan menjauh dan selalu tak nyaman apabila berada di dekatnya. Tidak ada mantan yang bisa menjadi temanku, dalam kamusku tidak ada kalimat seperti itu.

KAMU SEDANG MEMBACA
Butterfly Effect
RomanceDi usia yang telah memasuki 25 tahun, aku merasa seperti seorang penonton di pinggir lapangan, tersingkir dari hiruk-pikuk serunya kisah cinta masa remaja yang dulu begitu membara. Mati rasa kini perlahan menggerogoti diriku, mengambil alih hari-har...