Cassidy Ling-Chow Manhattan

1K 87 5
                                    

Aku sudah berada di kantor dari pukul 05.55 pagi tadi dan sekarang aku berada di ruang otopsi. Aku mengecek kembali apa yang kudapatkan. Yaitu korban yang sudah teridentifikasi. Aku mengeceknya kembali apakah identitas korban benar. Aku membuka kembali berkasku, aku tidak ingin apa yang kudapatkan cacat. Aku tidak salah. Ini adalah identitas korban. lincoln Parker Jean. Pria yang malang. Meninggalkan seorang istri dan tiga orang anak. Pelaku memang harus di bunuh di depan keluarganya, apa yang Ryan dan Ben katakan benar. Aku mendukung mereka bila mereka akan membunuh pelaku di depan keluarganya, orang seperti ini memang tidak pantas hidup di dunia ini.

Aku mengangkat kepalaku yang tadinya melihat berkas menjadi melihat sekeliling ruang otopsi. Rasanya sepi, aku merindukan Ryan, aku merindukan rayuannya. Setidaknya, rayuannya membuat pikiranku berwarna. Namun, sosok itu tidak ada sekarang. Ben Zeckliff, orang yang sudah kukenal satu tahun satu bulan. Sosok yang cerdas, pintar, tidak pantang menyerah, optimis, dan selalu berpikir masuk akal. Aku merindukan mereka berdua, aku harap mereka berdua akan ada di sini nanti.

Aku bangkit dari duduku. Aku mengambil tiga tumpuk tinggi plastisin anak anak, satu tumpuk plaastisin ada sepuluh buah plastisin. Aku memasukkannya ke jas panjangku. Aku menggunakan sarung tangan steril, aku akan mencetak setiap sidik jari korban satu persatu, dari situ aku bisa mengetahui siapa saja identitas korban.

Aku berjalan ke sorogan mayat pertama lalu menariknya dengan perlahan. Korban wajahya sedikit hancur, cukup sulit untuk mengenalinya. Jari tangan kanan semuanya putus. Tersisa kedua kaki dan satu lengan. Yaitu lengan kiri. Aku mengangkat lengan kiri korban lalu menaruhnya di bagian perutnya. Bagian perut hancur seperempat, terlihat organ dalam perutnya. Aku mencetak sidik jari korban dengan plastisin yang aku ambil dari jas panjangku. Setelah itu aku menaruhnya di lengan kiri korban.

Aku berjalan ke sorogan selanjutnya. Nanti aku akan melewatkan sorogan nomor lima. Karena korban sudah teridentifikasi. Hanya perlu memberi tahu keluarga korban. Keadaan korban di sorogan nomor dua cukup memperhatinkan. Wajah setengah hancur, perut dan dada bolong, kaki putus dan bolong. Kutaruh plastisin yang berisikan sidik jari korban.

Lima belas menit kemudian.

Aku sudaj selesai mencetak sidik jari para korban, aku bisa menggunakan sidik jari untuk mengidentifikasi identitas. Kumasukkan sidik jari mereka satu persatu ke scanner, lalu pencarian identitas korban di mulai. Waktu untuk mencari korban bisa memakan satu hari. aku tidak bisa mengharapkan ini selesai dengan cepat.

Aku mendengar  Ryan dan Ben datang ke ruang otopsi untuk mencari sesuatu, memangnya apa ?, aku akan mencari tahu itu.

puku 06.20 pagi.

Ternyata masih pukul06.20 pagi. Kukira sekarang sudah pukul 07.00 pagi. Di saat aku mencetak sidik jari korban, rasanya waktu berjalan sangat cepat. Kemarin, aku tidur di ruang otopsi, aku mendengar Ryan dan Ben membuka sorogan mayat nomor enam belas. Memangnya ada apa ?, pelaku tidak meninggalkan pesan apapun di lokasi kejadian. Tetapi, siapa yang tahu bila pelaku menyimpan pesan di dalam tubuh korban. Aku akan mengtahui apa itu. Aku berjalan ke sorogan mayat nomor enam belas. Aku menggunakan sarung tangan steril yang baru, aku mengambil pisau bedah dan beberapa alat lainnya yang sekiranya akan kubutuhkan nanti.

Aku menarik membuka sorogan perlahan lalu menariknya. Yang aku dengar, mereka membedah usus korban, memangnya ada apa ?, aku mencari bekas bedah Ryan. Tak lama aku mendapatkannya, usus sudah di sobek lima senti meter. Aku mengambil head light yang di saku jas panjangku, lalu aku memakainya.

"Tidak ada apa apa, apa yang mereka dapatkan ?, karena aku mendengar mereka mendapatkan sesuatu." kataku dengan bingung.

Aku melihat usus korban sekeali lagi. Aku menemukan sesuatu, seperti plastik wrap yang tipis. Tetapi tidak terlalu tipis. Aku membuka usus korban lebih lebar lagi. Aku melihat plastik samar samar, lalu aku mengambilnya. Benar, ini plastik wrap. Aku mengambil yang lainnya, karena apa yang aku lihat tandanya benar suatu benda. Bukan karena warna usus korban yang pucat mengkilat. Aku sudah mengambil semua yang terlihat dengan mataku. Aku mengumpulkan smeua plastik itu di tangan kiriku sambil kusinari cahaya head light.

"Ini adalah plastik wrap yang tipis. Mengapa ada plastik wrap di usus korban ?"

Aku mempunyai pikiran bahwa, sebelum korban di bunuh, korban makan, atau mungkin di ajak makan oleh pelaku. Aku tidak bisa berkata kalau pelaku mengajaknya makan. Bila aku menemukan plastik wrap di semua tubuh korban, artinya pelaku mengajaknya makan terlebih dahulu.

Aku berjalan ke tempat di mana banyak wadah kaca, aku mengambil plastik lalu menaruh di dalamnya. Setelah itu aku berjalan mendekati pintu, jaraknya kurang lebih tujuh langkah dari pintu masuk. Aku membuka satu sachet kopi. Lalu menyeduhnya. Setelah menyeduhnya, aku merasakan uap panasnya. Kuseruput kopi sedikt demi sedikit.

Pelaku tidak mungkin mengajak para korban makan di sekolah terlantar, bila kurasa, dia membawanya seperti ke suatu tempat. Aku tidak yakin bila tempat itu adalah restoran. Aku merasa sepertinya pelaku membawa korban ke rumahnya. Setelah itu pelaku mengajak para korban untuk makan bersama, lalu korban memberikan obat bius ke pada setiap korban. Tetapi, apakah pelaku seorang dokter tulang ?, karena bornya sangat halus. 

Tidak, hasil bornya bulat sempurna. Bisa saja peaku mengebornya dengan bor biasa. Pelaku pasti menggunakan obat bius yang tinggi dosisnya. Karena, untuk mengebor tulang akan memakan waktu, setelah itu pelaku harus membawa korban ke lokasi, setelah itu memsangkan rantai. Setiap rantai halus, apa pelaku memotong rantai, lalu mengelasnya ?, bila iya, dia sangat rela memakan waktu yang lama untuk mendapatkan hasil yang sempurna.

Aku berjalan ke salah satu meja otopsi untuk menaruh segelas kopiku. Baiklah, aku akan apa yang ada dalam usus para korban. Aku akan memdbedah mereka satu persatu.

Pukul 09.15 pagi.

Membedah para korban itu cukup menguras tenaga. Aku lelah. Aku butuh istirahat. Aku benci ini. Aku tidak ingin berhadapan dengan cara pembunuhan seperti ini. Cara pembunuhan ini membuatku harus berpikir dalam. Itu benar benar melelahkan.  Bila lelah fisik kau masih bisa beraktivitas, tetapi bila lelah pikiran, kau tidak bisa mengerjakan pekerjaanmu. Lelah pikiran adalah lebih lelah dari lelah fisik. Sebaiknya kau beristirahat bila kau merasa lelah pikiran, walau kau tidak merasa lelah fisik. Fisik hanyalah media untuk menyelesaikan pekerjaan. Tetapi, yang membuatmu bisa menyelesaian pekerjaanmu adalah pikiranmu. Pikiranmu lelah, kau tidak bisa menyelesaikan pekerjaanmu.

Cases Of GenocideTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang