Memori ( Sc: 20 )

5 0 0
                                    

  Matahari telah beringsut pergi dari singgasana nya, meninggalkan sang rembulan diujung langit sana yang kini bertugas menerangi bumi.
Seperti biasa, angin malam selalu menjadi kegemaran Fahri. Ia menarik nafas dalam dan menghembuskan nya perlahan.

  Pemuda itu terkekeh kecil, kala ia melihat hasil foto dirinya dan para sahabatnya. Raut bahagia yang terpatri di wajah kelimanya, sangat kentara di dalam foto itu.
Fahri melihat-lihat foto demi foto yang ia abadikan dikamera nya. Dari foto sejak ia masih disekolah nya dahulu, hingga foto pembukaan Cafe kak Angga, semua ada dalam kamera d'slr miliknya.

  Tak lama, aksi Fahri terhenti saat ia melihat foto sepasang gadis kecil dan anak lelaki kecil, sedang tersenyum sumringah dengan permen lolipop yang dipegang keduanya. Foto itu nampak seperti sebuah foto yang sudah dicetak, namun dipotret kembali oleh Fahri, terlihat dari gambarnya yang tidak jelas dan nampak usang.

  "Kamu gak pernah berubah." gumam Fahri.

  Fahri menolehkan kepalanya kebelakang, ketika sebuah suara menginterupsi, "Agatha." gadis itu tersenyum manis, selalu begitu.

  "Fahri. Kau tak makan malam..??" Agatha menggerakkan kursi rodanya untuk mendekati Fahri.

  Fahri menyambut Agatha dengan senang hati, kamera yang sedari tadi menjadi pusat perhatiannya, ia simpan di meja dekat kursi. "Tidak Agatha, aku tak lapar.
Dengan siapa kau kesini.?? Tak biasanya kau datang kerumah ku saat malam..??"

  "Aku kesini bersama Umi dan Abi. Tadi ibumu menyuruh ku untuk menghampiri mu dikamar. Jadii, yaa gitu. Aku ke sini deeh, hehe."

  Fahri tersenyum, lalu mencubit pipi Agatha gemas. "Kau sendiri sudah makan..?? Sudah belajar..??"

  "Sudah. Kau seperti pengasuh ku saja, Fahri." Agatha terkekeh, begitu pun dengan Fahri.

  "Seperti apa sekolah barumu..? Menyenangkan..?? Coba ceritakan padaku." tanya Fahri. Agatha memang sama seperti dirinya, sama-sama berstatus murid baru di sekolahnya.

  "Yaa begitulah, Fahrii. Kau tau sendiri bagaimana kondisi ku saat ini. Aku cacat fisik, kaki ku hanya satu, banyak orang yang menghinaku disana." tutur Agatha sedih.

  Fahri mengerang, giginya bergemeletuk menahan emosi. "Siapa orangnya..?? Biar ku hajar dia."

  "Ayolah, Fahri. Kau tak perlu melakukan itu pada mereka. Biar saja mereka menghina ku. Aku pantas untuk itu, Fahri." Agatha tertunduk lemah, mengingat betapa malangnya nasib ia sekarang.

  "Maafkan aku Agatha." Fahri bersimpuh dihadapan Agatha. Sontak membuat gadis itu terkejut, "Fahrii, sudahlah. Kau tak perlu ingat itu lagi. Ini semua bukan salah mu. Mungkin memang begini takdir hidupku."

  "Maafkan aku, Agatha. Karna kebodohan ku dulu, kau yang harus menanggung akibatnya."

  Agatha terkekeh, membuat Fahri mengerutkan alisnya, bingung.
"Fahrii. Sudah berapa juta kali kau meminta maaf, hmm..?! Aku bosan mendengar nya."

  Diam, tak ada jawaban dari Fahri. Euhh, Dasar Fahri ambekan.

  "Kau ini kenapa Fahri..?? Sudah 2 tahun setelah kejadian itu, kau semakin kekanakkan saja. Sekarang kau yang harus bercerita padaku tentang sekolah barumu." lanjut Agatha.

180 SecondTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang