Pendekatan ( Sc:29 )

4 0 0
                                    


  "Kak Angga."

  Angga tersenyum tipis. Ia mengusap peluh yang mengalir di dahinya. "Lagi ngapain sih, Dy..? Ngobrol kok ditengah jalan?!"

  Mata Candy tak berhenti berkedip saat melihat penampilan pria itu. Angga yang selalu berpenampilan rapih dan wangi. Kini terlihat kusam dengan celana pendek sebatas lutut, ditambah kaos kucel yang sudah mirip seperti lap dapur. Mobil mewahnya pun kini tergantikan oleh motor tua yang penuh dengan sayuran.

  "Kak Angga darimana..??"tanyanya.

  "Kakak tadi abis dari pasar. Beli bahan buat di cafe."

  Woaaahh. Luar biasa sekali Angga ini. Tak sedikit pun ia merasa risih saat harus turun tangan mengurus usahanya. Anak-anak hasil produksi Diana dan Yudhistira memang istimewa.

  Nia yang sedari tadi menyimak, lantas kembali menatap handpone jadul nya. Ia terpekik kaget ketika melihat jam yang tertera pada ponsel butut itu. Tanpa banyak berfikir, Nia lantas naik keatas motor Angga. Bagian belakang motor itu masih cukup luas untuknya.

  "Makasih ya, Dy. Udah panggilin tukang ojek. Bang, ke masjid depan komplek yaa."

  Angga mengernyit bingung. Ia merasa belum alih profesi sebagai tukang ojek. Ia menatap Nia dengan alis yang menukik tajam.

  "Tap---ii, teh. Dia bukan___"

  "Bang jalan dong. Udah telat ini. Nanti saya tambahin lagi deh ongkosnya."

  Angga mengatup bibirnya rapat. Ingin rasanya ia tertawa. Gadis ini sangat menggemaskan baginya. Ia memacu motor tuanya dengan laju lambat. Sengaja, karna ingin membuat Nia kembali kesal.

  "Cepetan dikit dong bang."

  "Iya, neng. Siaaapp." Angga memacu motornya lebih cepat. Nia yang kaget, lantas berpegangan pada jok belakang sembari mengumamkan istigfhar.
Angga terkekeh. Melihat ekspresi Nia yang ketakutan menjadi penghibur tersendiri baginya.

  "Laaahh ituuu.." Candy gelagapan sendiri melihat Nia yang menganggap Angga adalah tukang ojek. "Ahh biarinlah, siapa tahu mereka dijodohin sama Teh Thor atas ridho Allah. Aminn deehh."

  Akhirnya apa yang sedari tadi ia tunggu datang juga. Tukang bubur kacang yang sudah ia anggap sebagai paman sendiri melintas dihadapannya. "Mang..." teriak Candy.

  Ia berlari menghampiri tukang bubur kacang itu. "Goceng yaa mang. Santan nya banyakin."

  Pedagang itu membuka tutup panci tempatnya menyimpan bubur kacang. "Udah habis neng."

  ".?/+*#%."

  Candy menggeram frustasi. Sudah hampir satu jam ia menunggu dan tak mendapatkan hasil apa pun. Jika tak ingat bahwa melawan orang tua itu dosa. Mungkin Candy sudah mendudukkan pedagang ini pada selembar daun kelapa kering yang lebar, lalu mendorong nya kebawah bukit tempat ia berdiri saat ini.

***

  Angga terkekeh kecil kala ia melihat wajah panik Nia melalui kaca spion.

  "Stop bang."

  Angga menghentikan motornya didepan halaman masjid yang cukup besar dan luas. Masjid yang sangat indah menurut Angga.

  "Makasih yaa, bang. Ini ongkosnyaa." ucap Nia yang telah turun dari motor. Ia menyerahkan selembar uang bernilai 20.000 rupiah.

  Angga mengeryit bingung. Ia menampis tangan Nia dengan lembut. Namun Nia malah melotot dan melepas sandal jepitnya, lalu memukulkan sendal jepit itu ke kepala Angga yang untungnya masih terlindungi helm.

180 SecondTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang