Pilihan ( Sc: 23)

9 1 0
                                    

  Mata bulatnya mengerjap. Diatas ranjang putih, ia terbujur kaku dengan selang infus ditangannya. Kesadarannya belum terkumpul penuh. Perlahan bayangan abu-abu itu nampak jelas.
Hal pertama yang ia lihat adalah ruangan serba putih.

  Gadis itu kebingungan sendirian. Pasalnya tak ada siapa pun di ruangan ini kecuali dirinya.
"Arrgghhh.."
Candy beringsut dari tidurnya, ia melangkah menuju pintu sembari membawa kantung cairan infus. Dalam hati, ia bertanya. Siapa yang membawanya ke rumah sakit..?? Apakah keluarganya..?? Seingat Candy, terakhir kali dia sedang berada ditaman musik dan sendirian. Lantas siapa pula yang membayar administrasi nya..??. Rumah sakit yang Candy tempati sekarang adalah rumah sakit swasta, ditambah lagi dengan fasilitas lengkap yang ada di ruang inapnya, ini semua pasti membutuhkan biaya yang besar. Mengapa orang itu rela membuang uangnya hanya untuk menolong Candy.

  Dengan perlahan, Candy mulai melangkah sembari berpegangan pada tembok. Sesekali ia harus berhenti, saat kepalanya kembali berdenyut.

***

  Langkah kecilnya membawa ia ke taman rumah sakit. Entahlah, rasanya Candy bosan untuk terus berada diruang rawat inap tersebut. Ia duduk di salah satu kursi yang ada disana.
Seketika ia ingat akan apa yang telah ia lakukan. Sudah terhitung lima hari dari kejadian ia berkelahi dengan Utay dan genk nya, Bunbun selalu mendiaminya. Pun dengan sang Ayah. Sekedar berucap kata pun rasanya Pipo tak ingin.

  Dan lihatlah Candy sekarang. Ia sakit dan tak ada seorang pun disisinya. Tak ada Bunbun yang selalu membelai rambutnya halus, tak ada Pipo yang selalu menjaganya. Bukan Candy manja, ia hanya merasa kehilangan untuk apa yang sebelumnya pernah ia miliki.

  "Hikkss..." Candy terisak dalam diamnya. Ia merasa menjadi wanita yang paling lemah sekarang. Pandangan nya teralihkan pada sosok pria yang sedang terduduk di kursi dekat pohon dengan tatapan kosong. Penampilan orang itu terlihat buruk dengan perban yang melingkar didahinya.
Tetapi, Candy hafal betul siapa orang tersebut. Dia adalah pengagum setianya selama ini.

  "Utay..??" Candy mengambil posisi duduk disebelah Utay.
Utay menoleh, lalu membuang mukanya acuh kearah depan.

  "Emmm, Utay. Gue minta maaf yaa, soal kemarin. Gue gak nyangka akibatnya akan sefatal ini."

  Diam. Tak ada jawaban dari Utay. Ada yang aneh dengan pria itu.

  "Lo kenapa..?? Ada yang sakit..?? Kok diem aja..??"

  "Hilangg. Semuanya hilang."

  Candy terperanjat dengan penuturan Utay. Ia menyampingkan tubuhnya untuk dapat melihat Utay. "Apa yang hilang..??" Dan dengan bodohnya Candy berkata seperti itu.

  "Orangtua gue, Dy. Mereka memutuskan untuk bercerai."

  "Hah..?? Kok bisa..??"

  Utay menatap Candy dengan matanya yang menyipit. Rasanya ingiin sekali Utay membenturkan kepala Candy ke pohon yang ada dibelakangnya, agar Candy bertambah pintar. "Itu keputusan mereka, Dy. Mereka cerai saat kondisi gue  kayak yang lo lihat sekarang."

  Candy meringis. Ia merasa bahwa posisinya saat ini kurang lebih sama seperti Utay. Ketika keadaannya  lemah, ketika dunia seakan menjauh. Disitulah, terkadang kehadiran orangtua sangat diharapkan.
"Jadii, dirumah sakit ini lo sendirian..?"

  Utay menggeleng. "Ada Bi Ratna yang selalu nemenin gue."

  Candy mengangguk paham. Hatinya merasa ikut teriris saat mendengar cerita Utay.  "Keadaan lo gimana..?? Apa luka ini parah..??" Candy memegang dahi Utay yang dilingkari perban. Luka ini, luka ini Candy penyebabnya. Ia rela bertarung hanya untuk memperjuangkan cintanya pada Candy. Tetapi Candy..?? Menghiraukan perhatian Utay pun, ia tak pernah.
Jangan salahkan Candy. Salahkan saja hatinya Candy yang selalu menolak Utay untuk masuk ke dalamnya.

180 SecondTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang