Cemburu ( Sc:35 )

9 0 0
                                    

  "Anak-anak. Minggu depan kita akan menghadapi Ujian Nasional. Persiapkan diri kalian. Belajar yang giat. Kurang-kurangin main, jangan sampai kalian menyesal nantinya." pesan Bu Muli untuk seluruh murid kelas 12 Ipa 1.

  Bu Muli nampak membuka buku agenda yang ada diatas meja. Mata beliau terbelalak sempurna saat melihat absen yang tertera di buku tersebut.

  "Aduhhh. Ini kenapa alfa nya banyak lagi. Bulan September aja yang sakit 4, izin 7, alfa 12. Astagfirullah" Bu Muli menepuk jidatnya frustasi.

  Semua murid diam. Tak ada yang menyahut. Mereka pasti merasa bersalah pada wali kelasnya itu.

  "Kalian kan sebentar lagi mau ujian. Gimana bisa lulus kalau sekolah aja jarang. Kalian udah kelas 3 SMA looh, ini sekolah formal terakhir. Cuma tinggal menghitung minggu kalian bisa bebas dari peraturan sekolah. Apa salahnya siih lebih rajin. Toh, kalian sendiri yang nanti bakal rindu saat-saat dimana kalian dimarahin guru, dikasih pr banyak, dihukum karna ngelanggar peraturan. Itu semua gakkan keulang kalau kalian sudah lulus. Mumpung sekarang belum berakhir. Sok atuh, dinikmati hari-hari kalian teh."

  Lagi-lagi hanya keheningan yang terasa. Saat seperti ini para murid memang lebih banyak diam. Mereka pasti merenungkan setiap ucapan yang keluar dari Bu Muli. Akan tetapi, hal itu hanya berlaku untuk hari ini. Besoknya, mereka pasti akan melakukan kesalahannya lagi.

  "Haddduhhh Cindy lagi, Cindy lagi. Heh, kamu, Candy. Kenapa alfa kamu bisa sampai 4 gini dalam sebulan. Capek ibu negurnya juga." lanjut Bu Muli.

  Candy hanya tersenyum sembari menggaruk jidatnya. Tak tahu ia harus berkata apa. Sekelumit masalah yang menghampirinya membuat Candy tak fokus pada sekolah yang seharusnya menjadi prioritas.

  "Maaf, Bu." ucap Candy pelan.

  "Berarti kamu bayar 40.000 yaa.!"

  Masih ingatkan dengan perjanjian Bu Muli dan seluruh murid 12 IPA 1.

  Candy mengangguk. Dalam hati ia terus menggerutu karna uangnya raib untuk membayar denda.

  "Bu, Saya mau protes dong." ucap Silo memecahkan keheningan yang ada.

  Bu Muli mengeryitkan dahinya bingung. "Kenapa lagi, Silo..??"

  "Itu, bu. Kemarin kan saya dihukum karna celana saya terlalu ketat. Bahkan digunting habis sama Pak Kardi. Tapi Idan yang celananya udah bolong bagian pantat dan ditutupin pake plester gak jadi masalah tuh." tutur Silo. Matanya menatap tak suka pada Idan.

  Sementara Idan hanya menundukkan wajahnya. Ia tak mengerti mengapa Silo mengatakan semua itu saat rapat kelas seperti ini.

  "Terus pas waktu saya bilangin ke Pak Kardi. Beliau jawabnya 'gak kenapa'. Kan gak adil, Bu." lanjutnya. Ia bersedekap dada menatap Bu Muli, meminta penjelasan.

  Bu Muli menghela nafasnya. Agak susah berbicara dengan orang yang sulit diajak bicara seperti Silo.
"Jadi, gini yaa Resilo. Ibu kan jadi wali kelas kalian udah 3 tahun. Ibu udah hatam sama sifat kalian, kelakuan, bahkan kondisi ekonomi kalian.
Ibunya Gidan udah cerita banyak ke Ibu. Yaa, kalian gak usah tahu lahh yaa ibunya Gidan bilang apa. Yang pasti untuk Gidan, pihak sekolah memberi kebijakan. Beda dengan kamu, Resilo. Kamu anak orang kaya, tapi celana seragam aja kayak bekas Sd. Ngetat banget."

  Silo bangkit dari duduknya. Sontak, semua perhatian tertuju padanya. Ahh, dia memang senang berulah.
  "Laah, gak bisa kayak gitu dong, bu. Kan gak ada ceritanya orang sama-sama salah tapi yang satu dianggap bener. Gak adil itu."

  "Duduk, Silo. Gak sopan kayak gitu." ucap Rendi pada Silo. Pemuda itu pun menuruti apa yang tadi dikatakan Rendi.

  Bu Muli menatap lekat kedua mata Silo. Tatapan yang sangat sulit diartikan.

180 SecondTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang