Sakit ( Sc:22 )

4 1 0
                                    

  Pembelajaran yang berkisar 2 jam, kini terasa 2 dekade bagi Candy. Entah kenapa, sejak pagi perutnya terasa melilit. Ditambah lagi ia sekarang sedang belajar tentang fisika yang membuat usus dalam perutnya serasa dipelintir. Seperti yang sudah Candy katakan,
"Gatau kenapa, kalau otak gue dipake buat berpikir keras. Perut gue malah ikutan mules."
Entah apa hubungannya, tapi itu lah yang selalu terjadi pada Candy.

  Sedari tadi, ia terus bergerak gelisah sembari memegang perutnya yang merasakan sakit luar biasa. Keringat dingin mulai mengalir di dahinya. Candy tak berani mengadu pada siapa pun tentang apa yang ia rasakan, karna ia tak mau merepotkan orang lain dengan masalahnya.
Marilah kita sebut dia so kuat.

  Fahri yang duduk disampingnya, merasa terusik dengan gerakan yang Candy timbulkan tu. Ia menoleh pada sahabatnya, hampir saja ia memekik kaget ketika melihat keadaan Candy begitu buruk.
"Dy, kamu kenapa..?? Ada yang sakit..??"

  Candy hanya tersenyum tipis dan menggeleng, setelahnya ia kembali menormalkan posisi duduknya, dan bersandiwara dengan pura-pura mengerjakan tugas yang diberikan oleh guru. Karna kebetulan para guru sedang rapat, jadi mereka diberikan tugas mengerjakan 15 soal pilihan ganda dan 5 soal essai beserta anak-anaknya, serta wajib dikumpulkan hari ini juga. Huftt, kejam.

  "Cindy, kalau ada apa-apa, bilang aja. Gak usah banyak gengsi deeh." Fahri mulai kesal dengan sikap Candy yang seolah-olah tak peduli dengan dirinya sendiri.

  "Gue baik, kok, Ri. Lo kerjain aja tugasnya, nanti gue nyontek, ok!" jawab Candy dengan suara yang parau.

  Fahri hanya menatap nanar Candy, ia tau ada yang Candy sembunyikan darinya. Namun lelaki itu, kembali mengacuhkan Candy. Toh, yang diperhatikan pun tak membutuhkannya.
Niatnya Fahri siih ingin tega, tetapi ia kembali menoleh pada Candy ketika ia mendengar gadis itu menggumamkan kata 'aduh'.

  "Kamu kenapa siih Dy..?? Hobby banget bikin orang khawatir."

  "Gue baik, Ri."

  "Kalo kamu baik, gak mungkin dari tadi kamu gresak-grusuk kayak gitu."

  "Gresak-grusuk bahasa apaan, Ri..??"

  Fahri memutar bola matanya jengah. Disaat genting seperti ini Candy malah sempat-sempatnya ngelawak. Ada rasa cemas  ketika ia melihat dahi Candy yang bercucuran keringat. Dengan perlahan dan hati-hati ia usap kening itu dengan selembar tissue. Sentuhan yang Fahri berikan begitu lembut dan hangat, hingga tanpa disadari, Candy menyenderkan kepalanya pada bahu Fahri. Pun dengan Fahri, dengan senang hati ia mengusap-usap dahi Candy.

  "Sakiittt Rii..." lirih Candy.

  Fahri terperanjat, ia menundukkan kepalanya sedikit untuk bisa melihat Candy yang kini tengah terpejam sembari menggigit bibir bawahnya menahan sakit.
"Apanya yang sakit Dy..??"

  Tak ada jawaban dari Candy, ia terus memejamkan matanya. Kemeja seragam Fahri ia remas kuat, sebagai bentuk pelampiasan dari rasa sakit yang melandanya.

  Fahri kalang kabut sendirian. Ketiga teman lelaki Candy sedang sibuk mengerjakan tugas. Situasi dikelas pun lumayan hening, ditambah lagi dengan Candy yang meminta dirinya agar ia tak memberitahukan kondisinya pada orang lain.

  Semakin lama, rasa sakit diperutnya semakin menjadi. Candy mencoba untuk duduk, berharap sakit itu akan hilang dengan sendirinya.

  "Gue mau ke toilet."

  "Saya antar, ya."

Debumm

  Sebuah pukulan dari buku paket yang memiliki 350 halaman tersasar pada bahu Fahri. Seenaknya saja dia mengambil kesempatan dari orang sakit seperti ini.

180 SecondTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang