EMPATPULUHENAM : DEPARTURE

8.1K 523 40
                                    

Dering suara telepon dari ponsel Fajar mengalun di ruang rawat Abel. Masih pagi untuk Abel bangun pada jam segini. Fajar meraih ponselnya lalu menggeser tombol hijau mengangkat panggilan tersebut. Ia keluar dari ruang rawat Abel untuk berbicara sejenak pada si penelepon. Fajar keluar karena tak ingin mengusik mimpi indah Abel dalam tidurnya.

"Fajar, bisa kamu ke ruangan Davin sekarang?" Tanya Rini to the point.

Fajar diam sejenak. Sesuatu perasaan gelisah menggelayuti dirinya. "Fajar kesana Ma"

Fajar memutuskan sambungan teleponnya dengan Rini. Ia langsung bergegas ke ruang rawat Davin yang tak jauh dari ruang rawat Abel. Mata elang Fajar menatap lurus kedepan. Tersirat di mata Fajar sesuatu yang sendu, dan mungkin juga rindu.

Tangan Fajar mendorong pintu ruang rawat Davin. Terlihat Davin terbaring dengan banyak alat bantu hidup melekat di tubuhnya. Sakit menerima kenyataan bahwa Fajar lah penyebabnya. Semua orang bicara ini bukan salah Fajar, ini sudah takdir. Tapi tetap saja rasa bersalah tumbuh dalam hati kecil Fajar. Benci Fajar yang dulu punah, opini Fajar tentang Davin salah.

Rini yang sedang berada di pelukan Wijaya melihat kedatangan Fajar langsung mendatangi Fajar. Tirta bening seperti kristal meleleh, mengalir di pipinya yang mulai ada kerutan. Matanya menatap sendu ke arah Fajar. Raut kesedihan terpampang jelas di wajah Rini. Rini mengampiri Fajar dan langsung memeluk anaknya itu.

Fajar membalas pelukan Rini erat. "Kenapa, Ma?"

Rini masih menangis di dada bidang Fajar. "Kata Dokter, kemungkinan Davin hidup nggak banyak"

Tubuh Fajar menegang mendengar ucapan Rini. "Mama kalau bilang jangan kayak gitu, Ma!" Suara Fajar bergetar.

Fajar melepaskan pelukannya. Fajar berjalan menuju ke brankar tempat Davin terbaring. Lemah, tak berdaya. Sosok yang ceria, diam dan tenang dengan lukanya yang tersamarkan. Davin yang tenang dibawah kesadarannya. Bukan, bahkan belum sadar.

"Bangun Vin! Lo tega buat Mama sama Papa sedih? Bangun Vin!" Fajar menumpahkan air matanya yang dari tadi tertahan.

Hati Rini semakin hancur melihat Fajar yang turut larut dalam kesedihan. Wijaya langsung memeluk Rini memberi kekuatan agar bisa melewati cobaan ini. 

Tiba-tiba garis di monitor pendeteksi jantung bergaris lurus. Fajar mengusap air matanya. Jantung Fajar bagai berhenti berdetak seiring bunyi memekakan dari monitor itu mengisi ruangan. Bagaikan suara Davin berpamitan untuk tidur yang panjang. Tenang, dalam suasana senyap disurga yang indah.

"Davin! Panggilin Dokter!" Fajar berteriak. Tangannya mengguncang bahu Davin pelan.

Wijaya dan berlari keluar dari ruang rawat Davin memanggil Dokter. Sedangkan Rini menenangkan Fajar. Setelah beberapa saat Dokter berjas putih memasuki ruang rawat Davin.

Dokter itu mengecek keadaan Davin. Ekspresi sedih langsung menghiasi wajah sang Dokter. Ia menghela napas. Ekspresi Dokter saat ini membuat Fajar bertambah takut. Takut kehilangan Davin, saudaranya.

"Kami sudah berusaha sebisa mungkin. Tapi sepertinya kebahagiaan menunggu ananda Davin disana" ucap Dokter dengan raut wajah sedih.

Mendengar itu Rini langsung tak sadarkan diri di pelukan Wijaya. Sedangkan Fajar jatuh bersimpuh. Tangannya terkepal menahan emosi. Air mata mengalir di pipi Fajar. Mungkin hari ini adalah hari pertama dimana ia menangis di usia remajanya.

"Semoga tenang, Dav" kata Fajar lirih.

Hate but Love Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang