Part 29 | Putus (?)

2.2K 105 1
                                    

Nadia berjalan menelusuri koridor. Seharusnya perjalanannya menuju kelas berjalan dengan lancar, tapi Jasmine tiba-tiba menghadangnya dengan kedua tangan terlipat di depan dada dan senyuman jahatnya. Amanda, Rosa, Gita dan Lola mengikuti di belakangnya.

"Aduh, kasian yang nggak punya temen," ledek Jasmine. Nadia menatap cewek dihadapannya itu. Ia tidak ingin membalasnya mengingat ini masih pagi dan dia tidak mau membuat keributan.

"Ya iyalah. Orang kayak Nadia gini nggak usah ditemenin," timpal Amanda.

"Iya, bahkan Nindya yang biasanya setia temenan sama dia aja sekarang udah menjauh," tambah Gita.

"Yah baguslah, sekalian aja dia nggak ada temen. Sendirian seumur hidupnya," cibir Rosa diikuti gelak tawa diantara mereka.

"Eh, kalau Nadia sendirian terus, berarti dia jomblo ya?" tanya Lola.

"Bukan jomblo lagi, tapi kesepian. Wanita kesepian. Nggak punya temen, sahabat, saudara, pacar," ucap Jasmine menusuk hati.

"Kalian bisa, nggak. Nggak ganggu hidup gue terus. Urus tuh hidup kalian! Jangan bisanya cuma meledek dan menghina gue doang. Please, kalian itu udah gede! Berpikir dewasa sedikit bisa nggak?" protes Nadia akhirnya.

"Wow, galak amat. Jadi sekarang lo udah berani sama gue? Iya?"
Nadia tidak menjawab perkataan Jasmine. Dia sudah lelah menghadapi sifat cewek itu.

"Sekarang lo bisa deket sama Surya. Tapi sebentar lagi, dia akan menjauh dari lo sama halnya Nindya yang menjauh dari lo!"

Nadia pergi meninggalkan mereka dan pergi menuju kelasnya. Sementara Jasmine dan kawan-kawannya tersenyum jahat penuh kepuasan seolah telah memenangkan segalanya. Padahal, belum tentu suatu saat mereka yang menang.

***
"Anak-anak, Bapak akan membagi hasil ulangan minggu lalu. Ternyata, nilai tertinggi di kelas ini sangat spektakuler. Nilainya mencapai 100," ujar Pak Salim ketika pelajaran matematika berlangsung. Suara tepuk tangan terdengar di seantero ruang kelas.

Para siswa sudah menduga siapa yang mendapat nilai tertinggi. Dugaan mereka benar ketika Pak Salim mengatakan bahwa Surya adalah siswa dengan nilai tertinggi.

"Suatu pencapaian yang sangat bagus bagi Surya. Kalian semua harusnya mengikuti jejaknya. Saya harap, nilai kalian bisa lebih baik dan bahkan bisa seperti Surya. Selain itu, sikapnya yang baik, santun dan menghormati Guru juga harus kalian teladani. Siswa yang baik itu bukan cuma pintar, tapi layak dijadikan contoh," kata Pak Salim.

Setelah itu, Pak Salim membagikan hasil ulangan. Hingga Nadia menerima hasil ulangannya. Lagi-lagi, ia melihat nilai yang ditulis dengan tinta merah. Tertulis angka dua di pojok kanan atas. Ia pun termenung dan menunduk di depan meja guru.

"Nadia, di kelas ini hanya kamu yang remidi. Saya ingin nilai kamu lebih baik lagi. Maka dari itu, besok lusa kamu harus  melaksanakan ujian ulang," tegas Pak Salim.

"Baik, Pak."

Pak Salim mengangguk-angguk. "Saya tidak mau kalau kamu gagal lagi dalam ujian bab selanjutnya. Belajar yang giat, pasti kamu bisa."

Kalau kesopanan di dunia ini tidak ada, ingin rasanya Nadia berteriak "Pak, Bapak tau nggak? Saya itu udah belajar semalaman, udah berusaha giat, tapi apa? Saya selalu nggak bisa! Nilai saya nggak pernah meningkat. Belajar di rumah juga nggak bisa konsen karena nggak ada dukungan dari keluarga. Saya capek, Pak! Apa orang sukses itu karena nilai yang tinggi? Apa orang sukses karena kepintarannya?"

"Iya, Pak," balas Nadia pelan dan duduk di bangkunya.

"Nad, lo kenapa sedih?" tanya Surya cemas.

"Nilai gue--." Meski tidak diberitahu pun, Surya tahu kalau Nadia mendapat nilai dibawah KKM. Pasti gadis itu remidial.

"Gue bisa bantu lo, Nad. Hmm.. besok, pulang sekolah lo ke rumah gue aja. Gue bakal ngajarin lo dengan senang hati."

"Be-beneran? Makasih ya, Sur."

"Iya, sama-sama."

Bagi Surya, dia senang melihat senyuman terbit di wajah Nadia. Selama ini, gadis malang itu hanya merasakan kesedihan. Dan Surya adalah orang yang tidak tega melihat orang sekitarnya sedih.

***
Nadia duduk di sofa ruang TV. Tatapannya mengarah ke TV yang sedang menayangkan sebuah sinetron komedi yang belakangan ini digandrungi ibu-ibu arisan di daerah rumah Nadia. Meski pun pandangannya ke tv, tapi pikirannya melayang kemana-mana.

Dia bingung. Sebenarnya, bagaimana cara agar bisa mendapat nilai lebih baik? Kenapa selama ini ia selalu gagal, padahal sering berusaha?

Lamunan Nadia sontak buyar ketika pintu utama rumah itu dibanting. Diikuti isak tangis seorang gadis manis dengan rambut digerai. Sewaktu pagi, tatanan rambutnya rapi. Namun, sekarang jadi acak-acakan. Make-upnya luntur.

Nadia menuju ruang tamu. Didapatinya Rena dengan wajah sembab bercampur kesal.

Mama yang ada di dapur pun menghampiri anak kesayangannya itu, menyuruh duduk dan memberikan minuman, merasa iba dan khawatir. Andai saja ketika Nadia menangis, dia bisa dipedulikan seperti Rena.

"Kamu kenapa, Rena? Ada yang jahatin kamu ya? Mana orangnya? Sini mau Mama lawan!" tegas Mama. Rena menaruh gelas di meja. Setelah tenang, ia baru menjawab.

"A-aku putus sama Kak Gio, Ma."

"Hah? Kok bisa?"

"Ta-tadi aku lihat dia lagi jalan sama cewek lain yang lebih cantik dan modis dari aku. Dan aku melihat kejadian itu tepat di mataku sendiri, pas di taman. Mereka sayang-sayangan, pegangan tangan, dan bahkan Kak Gio cium bibir cewek itu," ungkap Rena sambil sesegukan. Tangisnya sudah tidak dapat dibendung lagi. "Aku nggak kuat lagi. Aku minta putus dari dia."

"Aduh, sayang. Kamu kasian banget, sih. Ternyata Gio itu orang yang nggak baik. Seenaknya aja dia nyakitin perasaan anak Mama."

"Udah gue bilang, kan. Dia itu selingkuhin lo! Lo nggak percaya sih," cibir Nadia.

"Udah deh Kak! Nggak usah ngomong kayak gitu."

"Iya. Kamu itu, Nad. Rena itu lagi sedih. Harusnya sebagai kakak yang baik, kamu menghibur dia."

"Menghibur? Apa aku pernah dihibur sama kalian? Aku aja nggak pernah dihibur, apalagi mau menghibur. Jadi aku nggak tahu cara bikin orang lain bahagia karena aku sendiri nggakernah bahagia. Sekarang lo baru tahu kan rasanya sakit hati? Ini belum seberapa dibanding sakit hati yang gue rasain selama hidup gue!"

Setelah bicara seperti itu, Nadia pergi ke kamarnya. Meninggalkan Rena yang masih menangis meraung-raung dan Mama uang kesal dengan sikap anak sulungnya itu.

*****
Selamat malam. Sebelumnya, aku mau minta maaf sama kalian karena Sabtu lalu nggak bisa update. Huhu T,T

Tapi nggak apa-apa, tenang ae. Slow. Sebagai gantinya, besok aku bakal update cerita ini hihiw. Jadi tunggu kelanjutannya besok ya hehe.

Best regards,

Fida N 💗

Nothing ImpossibleTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang