Sore ini, Nadia belajar bersama Surya. Tidak hanya berdua, sih. Mereka bersama dengan Uzi, Nino dan Nindya. Untuk kali ini, mereka memutuskan untuk belajar bersama di rumah Nino.
"No, lo punya makanan nggak? Gue laper nih," keluh Uzi sambil memegang perut.
"Itu ada makanan di depan lo. Makan aja," balas Nino.
"Iya, Zi. Noh banyak kue, makan aja ngapa," timpal Surya.
"Bukan, bukan gitu. Gue pengen makanan berat gitu, lho. Nasi kek, roti kek, apa kek," ujar Uzi.
"Oh, bilang dong. Bentar yak, gue masakin dulu. Kalian mau gue masakin apa?" tanya Nino.
"Nasi goreng leh ugha. Kalau enggak telur juga nggak apa-apa dah," jawab Uzi.
"Apa aja yang penting halal dan enak," balas Surya.
"Apa aja, No, terserah," kata Nadia.
"Iya, terserah," ucap Nindya.
"Oke oke." Nino menuju dapur dan hendak memasak. Namun, ternyata api kompor tidak bisa menyala.
Nino menghampiri mereka.
"Mohon maaf Saudara-saudara. Ternyata gasnya habis. Jadi, gue belum bisa memenuhi permintaan kalian. Sebagai gantinya, gue beliin pecel lele di depan kompleks aja ya, gimana?"
"Ya udah deh terserah," kata Uzi. "Yang penting gue bisa makan."
"Beneran, No, lo mau beliin kita pecel lele? Emang kita nggak ngerepotin?" tanya Surya.
"Enggaklah. Sama sekali nggak repot, kok. Lagipula gue adalah tuan rumah dan kalian adalah tamu gue," kata Nino tersenyum tulus.
"Makasih ya, No," kata Nadia.
"Makasih, Bro," kata Surya.
"Thanks, yak!" ucap Uzi. "Ya udah buruan gih, gue udah laper."
"Iya, iya, bawel."
Nino bergegas mengambil uang dan hendak keluar rumah. Langkahnya terhenti ketika suara seorang gadis mencegahnya.
"Tunggu, No. Gue ikut ya, mau sekalian beli pulpen di warung depan," kata Nindya.
Nindya menghampiri Nino. Tiba-tiba saja, jantung Nino berdegup kencang. Raut wajahnya tak karuan. Nino pun tersenyum pada Nindya---senyum yang berbeda, senyum salting.
"Yuk," ajak Nino. Mereka berdua pun pergi.
"Zi, lo ngerasa ada yang aneh nggak sih antara Nino dan Nindya? Si Nino keliatan beda gitu," celetuk Surya.
"Hmm... Si Nino suka sama cewek itu," balas Uzi lempeng yang kemudian meminum air putih.
"Oh gitu. Kok gue nggak tahu ya?" ucap Surya.
"Sebenarnya gue juga cuma menebak-nebak, sih. Dia gak pernah cerita. Cuma ya... keliatan beda aja gitu sikap dia ke Nindya sama ke cewek-cewek lain."
"Oh ya?" Nadia nimrung.
Uzi mengangguk. "Tapi lo nggak usah bilang-bilang ke Nindya ya, Nad. Soalnya gue juga belum tahu pasti."
Nadia mengangguk. "Oke."
***
"Buka mulutnya, keretanya mau lewaaat." Nino menyuruh Fendi, keponakannya, untuk membuka mulut.Fendi yang sedang asyik main mobil-mobilan pun menurutinya. Nino menyuapkan nasi ke dalam mulut bocah kecil berusia empat tahun tersebut.
"Pinter. Makannya yang banyak ya, Sayang," kata Nino mengelus puncak kepala Fendi yang diikuti oleh anggukan oleh bocah laki-laki itu.
"Iya, Om."
KAMU SEDANG MEMBACA
Nothing Impossible
Teen Fiction[SUDAH TAMAT] Nadia selalu berada di peringkat terakhir di sekolah. Dia juga tidak punya bakat apapun. Apa-apa yang dilakukannya selalu salah dimata orang. Dia ingin seperti teman dan adiknya yang selalu jadi juara 1. Namun orang-orang sekelilingnya...