Dior mengendarai kendaraannya melintasi jalanan sepi dan senyap. Di kiri kanannya hanya nampak jajaran pohon pinus yang menghiasi sepanjang jalan beraspal yang di lewatinya.Wajah tampannya tampak tenang tak berekspresi, sesekali jemari lelaki itu memijat pelipisnya yang sedikit nyeri.
Kendaraan itu terus melintas, membelah jalanan yang di penuhi sedikit kabut, hingga mendekati daerah perbukitan yang agak curam. Di ujung jalan nampak sebuah gerbang kokoh yang menjulang tinggi, tampak serasi dengan rumah berdinding batu di kejauhan sana. Beberapa pilar kokoh menaunginya, memberikan kesan dingin dan seram.
Dior turun dari mobilnya. Mendekati gerbang besi berwarma hitam tersebut dengan langkah tenang, suara derit engsel tak berpelumas terdengar nyaring, saat Dior mendorong pagar dua pintu tersebut hingga terbuka lebar.
Kembali naik ke dalam mobil untuk memasuki halaman luas berumput yang menghiasi sepanjang jalan menuju rumah yang nampak di kejauhan. Pemuda itu sempat turun sebentar untuk menutup pagar kembali lalu melaju dengan mobilnya ke arah bangunan berlantai dua tersebut.
Memarkirkan kendaraannya tepat di samping rumah berdinding batu-batu besar tanpa sentuhan warna, lalu turun dengan membawa sebuah tas berukuran sedang yang kini tersampir di bahu kekarnya.
Sekilas rumah indah namun menyeramkan itu seperti tidak berpenghuni, hal itu semakin di perjelas dengan seluruh jendela yang nampak tertutup rapat dan di penuhi oleh debu.
Dengan santai Dior membuka pintu besar di hadapannya dengan kunci yang di ambil dari saku celana jeansnya, sebelum dirinya melangkah masuk.
Seorang lelaki tua beserta wanita yang usianya tidak jauh berbeda dengan lelaki itu berjalan dengan tergesa menghampiri Dior.
"Selamat pagi tuan muda, mengapa anda tidak memberi tahu kami dulu jika akan datang kemari," ucapnya bersahaja.
"Pagi, dimana ibuku?" tanya Dior langsung, dengan tatapan datar.
"Seperti biasa beliau di kamarnya tuan," ucap sang pelayan tua itu sopan, sambil meraih tas berukuran sedang di tangan Dior untuk di letakkannya di kamar yang biasa di tempati pemuda itu.
"Aku akan menemuinya sekarang, kau siapkan saja makan pagi untukku," ucapnya sambil berlalu.
"Baik tuan," jawab mereka yang terdengar samar di telinga Dior karna jaraknya yang cukup jauh dari Dior yang terus melangkah cepat, hingga menghilang di balik salah satu lorong yang menuju ke arah kanan.
Koleksi lukisan-lukisan tua langsung menyambut Dior yang terus melewati lorong sunyi dan beberapa pintu yang berjejer rapi, sampai dia berhenti di sebuah pintu yang terletak paling ujung di lorong sepi tersebut.
Kegelapan langsung menyambut Dior saat membuka pintu tersebut, Dior langsung menutupnya secara perlahan, seolah takut suara derit pintu tersebut, akan mengganggu penghuni kamar yang kini di masukinya.
Dengan perlahan Dior mendekati jendela besar yang masih tertutup tirai dan membukanya sebagian, hingga ruangan itu menjadi sedikit lebih terang.
Wanita itu seketika panik dan berteriak-teriak dengan histeris, sehingga Dior langsung mendekapnya erat, berusaha menenangkannya.
"Jangan takut mah ini Dior, tidak ada yang bisa menyakitimu di sini," ucap Dior yang kini telah berlinang airmata.
"Dior... Dior anakku, dimana Dior anakku," ucapnya sambil berusaha meronta dalam dekapan Dior hingga kursi roda itu sedikit berguncang.
"Aku disini mah, aku disini, aku di hadapan mamah," ucapnya dengan suara bergetar.
"Dior... Dior dimana kau, di mana kau nak ... " ucap wanita separuh baya itu makin terisak, "tolong mama nak, tolong mama, mereka telah menyakiti kami, mereka... Mereka akan menyakitimu juga," ucapnya setengah berbisik dengan tatapan nanar dan ekspresi ketakutan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dendam (End)
Romancehatinya sebeku es jiwanya terluka dalam hanya satu yang di inginkannya balas dendam!