Baginya, yang utama dari berbagai keceriaan manusia siapapun adalah sandiwara. "Pinkan pernah berucap seperti itu, meski dalam gempuran waktu dengan risalahnya dia punya ketakutan tentang kematian pula. Takut manusia lain menyuruh Tuhan melaknatnya. Dan memang benar kata Pinkan! Penduduk bumi dengan peran sandiwaranya mengetahui segala sesuatu yang akan mereka ucapkan dan akan di lakukan.
Aku...hanya bermain sandiwara, tatkala orang-orang mulai merasa kebenarannyalah yang di rasakan hanya karena merasa benar. Tidak pandai merasa saja. Kalian boleh mencicipi tubuhku, sambil berbohong pada istri, anak-anak kalian, serta pasanhan kekasih mereka. Tidak sedikit mereka prustasi dalam beban hidup mereka yang sejubel masalah pula. Mereka menumpahkan gairahnya sebagai sandiwara syahwat berlangsung telah lama. "Pinkan merubah posisi duduknya dengan memiringkan tubuhnya, nampak paha putih menyekat otak lelakiku. Pakaian dalamnya hampir terlihat menyerupai gumpalan tebal mendung awan dalam kehidupan yang binal ini. Toh juga dia manusia butuh waktu dan ruang merasakan keberadaan Tuhan, ketika suatu hari kutemukan dia menyeka air matanya. Tanpa berani menanyakan mengapa dan sebab apa? Dia mau menjelaskan betapa kehinaan ini di anggap selamanya lembah tercuram penuh kenistaan. Tetapi mereka belum paham, dan tak pernah mau tahu. Di rumah ada si buyung menunggu jatah jajan, susu, pakaian dan uang SPP si sulung yang beranjak remaja. Cicilan rumah kontrakan dan beberapa biaya lainnya. Ini bukan pilihan seperti yang mereka anggap...ini hanya episode dari sandiwara yang sama kita mainkan. Ucap lirih Pinkan dengan sorot matanya memancing pengunjung lainnya yang mulai ramai.
KAMU SEDANG MEMBACA
Namamu Pinkan
RomanceGadis yang berjarak dari pohon keluarga menjadikan kediriannya tak bisa lepas dari bayang-bayang pinkan sebagai nama profesi.