Bagian XVII

12 0 0
                                    

Perlahan waktu berderik seperti nyaring menemui setiap pemanggul para buruh pelabuhan. Di punggungnya bekas tumpukan hidup telah bebal. Sepagi ini riuh kehidupan di mulai. Dari rengekan anak kecil pagi hari, hingga ibu muda hamil di balik gubuk di bantaran sungai dekat muara waktu yang terasing di Negara sendiri. Pecah banda Daeng becak di tambal seadanya, pengamen semalam masih pulas dengan uang recehan.

Di kota ini, berjangkungan manusia menerka arah tanpa macet, demi memburu warna dunia, tugas menumpuk durasi perjalanan bagai amis penuh rentetan yang di sertakan wakah pengemis, Danu melawan kelenjar syaraf emosinya ketika pengendara lain menyalipnya. Pagi yang tak beruntung kena macet, sementara tugas wawancara untuk hari ini telah menunggunya untuk sebuah riset fenomena dan pengaruh kota yang mulai tak teratur.

Betapa tak sesuainya harapan dan kenyataan, ruang-ruang tertentu terselip amplop tebal, pejabat yang nakal melewati akal, demi kepentingan dan kolega, raib dengan uraian laporan fiktif ketika KPK membidik mereka berkelik. Rasanya fenomena ini, bagai drama turgi yang awamku tak mampu menekankan dan upaya memahaminya dengan apa. Hukum tertindas dengan isi tas. Berkelik lalu mengubah bentuk laporan penyelewengan.

Betapa banyak rakyat yang papah, berandai makan roti setiap pagi, menggulung tikar alas korannya dan menemukan sisa hidup yang tersekat pilihan hidup yang terpaksa. Kemiskinan yang merata, bukan kesejehteraan yang di sertakan pada beberapa hal agenda Negeri dan janji para klnstentan setiap pilkada hingga pada pemilu tahun lalu, hanya menyisakan pilu bersembilu bertalu-talu.

Pinkan, apakah karena himpitan ekonomi kau menjawabnya dengan tubuh serta payudara yang putingnya masih ranum raib di tengah badai dan prahara keluarga yang nota benenya adalah hanya kesenjangan sosial itu. Kebahagianmu di rampas hingga sampai rela di remas tak berkutik pada lilitan kebutuhan sehari-hari?

Sisakan aku untuk tangismu" Setelah semua menyeretmu pada persepsi miring, biar kuseka pada detik tertentu, walaupun tanpa harus memaksamu menemaniku di celah waktumu yang ada, sebelum dan setelah pelanggan gendut yang berdompet tebal mewakili instansi sebuah pemerintahan yang tadinya dia sisipkan nama palsu di ekor rayuan birahinya. Aku menunggu di tempat biasa setelah tugasku selesai ku temui kau...pesan terkirim ke ponsel dengan layar penuh foto Pinkan terpajang bagai kehidupan yang terjawab di raut wajahnya yang kuyup penuh harapan meninggalkan sayup sang malam yang di jalaninya.

Namamu Pinkan Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang