Entah berpa lama Pinkan siuman dan sadar, ketika menemukan dirinya datar bagai bumi yang kosong. Dalam ketiadaannya sesaat bukankah dalam isyarat Sebagaimana atas menyiratkan bawah dan manis menyiratkan asam, seperti lelaki menyiratkan perempuan dan mabuk menyiratkan sadar ( Trout/gempa waktu ). Pada mabuk menyirarkan sadar, pada bahagia menyiratkan sedih. Pinkan mereka-reka kejadian. Tubuhnya masih telanjang dalam buah dadanya yang mulai kendor. Berusaha bangkit! Lutut dan tumitnya terasa nyeri, aliran darahnya bagai memaksa memompa. Dia berpegangan di kaki meja, dengan suasana jiwa dan hatinya merasakan ke anehan dan rekayasa waktu yang menimpanya tanpa isyarat.
Astag! Al...pasti telah menungguku, dan merasakan kesedihan, kecewa karena hari ini adalah hari di mana saya harus mendampingi di sekolahnya bersama orang tua siswa lainnya. Aku harus menjawabnya bagaimana? Dia bangkit dan mulai bergegas...namun pintu kamar mendahului. Pinkan panik dan meraih handuk yang berada di sandaran kursi. Dia membalut tubuh mulusnya menuju pintu. Lalu mengintip di celah lubang kecil. "Rega sudah berdiri di delan pintu. Kemudian Pinkan bergegas lagi membukakan pintu pada temannya itu. Namun Pinkan kaget dua orang lelaki yang berkulit putih dengan perawakan antara korea dan jepang. Dia orang asing yang kebetulan berlabuh di dermaga Sore kemarin. Maukah kau menemaninya? Saya telah dua hari bersamanya...Pinkan bingung penuh dilematis, sisi lain dia harus menemui Al di sekolahnya, dan si bungsu yang menunggunya di rumah temannya yang kemarin dia menitipkannya. Ayolah...Bujuk Rega. Lumayan bayarannya sumpah! Rega membisik di telinga Pinkan, sementara dua lelaki yang tak sabar ini menatap penuh hasrat pada seluruh bagian tubuh Pinkan yang hanya memakai handuk di atas lutut dengan nampak paha putih mulus dan belahan dadanya yang dipaksa kencang oleh ikatan handuk. otak syahwat lelaki yang berdiri di kedua sisi sambil berisyarat membuar kesepekatan. Ini juga bukan karena kehendakku, bu Renggo yang menyuruh ke dua tamu ini agar menemuimu. Bur Renggo memang sukanya begitu, sepenuhnya di atur dan kadang di paksakan melayani meski kelelahan kami cukup terasa hanya saja, tiada berani menolak keinginannya. Kami selalu patuh padanya sebagai majikan seks. Bu Renggo punya banyak hal kenapa kami tak bisa menolaknya. Bantuannya secara materi. dan pemenuhan beberapa hal ekonomi, tak jarang ketika kami kesusuhan maka pada Bu Renggolah solusinya. Ahh...kecamuk kembali merasuki Pinkan. Matahari telah menyiratkan hari telah memajang menuju titian yang penuh warni yang kadang tak sesuai harapan. Pinkan dalam sebuah pilihan, antara melayani dua tamu asing bermata sipit itu atau mengorbankan perasaan Al anak sulungnya yang kini menunggunya pada pertemuan yang terselip pesan penekanan orang tua di harapkan hadir mendampinginya. Terbayang suasana jiwa Al dan kecewanya yang kemudian merasa tak punya siapa-siapa dan akan di olok-olok, di bully sama teman-temannya. Al akan mengalami fase rasa yang berkepanjangan dalam sikisnya sebagai anak yang membutuhkan waktu menemaninya berbincang, atau menanyakan siapa saja yang membullynya, betapa Al akan terlihat bagai anak sebatang kara padahal dia punya sosok Ibu yang di kaguminya.
Suasana makin meringsut bagai tubir buah waktu dalam keputusan Pinkan detik itu juga. Rega mendekatinya di sudut ranjang dengan masih nengenakan handuk. Ayolah, Soal Al biar saya yang ke sekolahnya mewakilimu. Nanti saya jelaskan pasa Al, bahwa kau sibuk dan menyampaikan permintaan maafmu padanya. Mata Pias menukik di mata Pinkan, ada getaran hebat, ada rasa berkecamuk ingin mengusir ke dua lelaki itu yang mengejarnya dengan tatapan hasratnya. Dan menyumpahi Bu Renggo uang selalu memilihnya melayani dan di titipkan seks liar dari setiap orang Asing menjadi teramu. Ok...Kau harus menerima keinginan Bu Renggo, saya segera ke sekolah Al menemuinya dan menemaninya mewakilimu. Rega tanla menunggu isyarat setuju Pinkan berlalu melemlarkan senyum nakal lasa ke dua tamu asing pagi ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Namamu Pinkan
RomanceGadis yang berjarak dari pohon keluarga menjadikan kediriannya tak bisa lepas dari bayang-bayang pinkan sebagai nama profesi.