Seminggu bagai musim yang rentan nan panjang, dalam tempat terpencil dari iklim dan suasana yang makin di pinggir peradaban. Sejarah mana tak mencatat lalu tak terburai secara tuntas dan totalitas. Di retas dengan iklim politik dan suasana yang menit kedepan ada beberapa hal skenario baru.
Buruh pabrik dan pelabuhan, mengantar hidup jauh lebih jelas dan bertapal tak memiliki ruang merasakan sebuah kesenjangan sosial, baju buruhnya masih yang kemarin, di gantung dan di anginkan dekat warna matahari. Mesin cuci tidak ada, sabun colek sasetan di palai beramai-ramai. Kulih Panggul pelabuhan merasakan bau amis dan nyanyian duka kawan-kawan sepekerjanya. Di antara pemangku hanya mengaku telah berusaha meminimalisir angka kemiskinan, toh masih berjubel manusia bermukim kumuh di tanah Negeri yang masih hendak di obrak abrik dengan segala kepentingan elit.
Orang-orang borjuis, memarkir kendaraannya dengan pesona kemewahan, sama-sama menjenguk pinggul "Pinkan" bagai gitar spanyol, canda mereka setiap bersamaan berpapasan, di ujung lorong dan kamar. Seribu sensasi seks dan bau amis sperma mereka, tumpah dan tercecer diantara paha-paha Pinkan lainnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Namamu Pinkan
RomanceGadis yang berjarak dari pohon keluarga menjadikan kediriannya tak bisa lepas dari bayang-bayang pinkan sebagai nama profesi.