Semakin mendekati rumahnya, perasaan baru muncul. Ia ingat malam ini orang tuanya akan datang. Kuenya. Gifty belum membeli kuenya. Gifty hampir saja ingin mengatakan pada supir taksi untuk berbalik saat kejadian tadi mengisi pikirannya. Tidak. Bayangannya masih lekat dalam benak. Perasaan kalut mengalir dalam tiap darahnya.
Bahkan kedua mata, bibir, dan tangannya masih terasa seperti tertutup dan terikat. Membuat seketika perasaan was-was menggerogoti tubuhnya. Diusapkan salah satu tangannya pada pipi bekas tamparan Fabian. Gifty mencoba menetralkan perasaannya, beberapa kali melirik ke spion depan. Memandang wajah supir taksi didepan. Seolah meminta pertolongan dengan segala keraguan yang tengah mengganggu.
"Ada apa, Mbak?"
Gifty tidak langsung menjawab. Digelengkannya kepalanya perlahan. "Saya ngerti masalah remaja sekarang. Tapi, kabur dari rumah itu nggak selalu menyelesaikan masalah. Pasti orangtua Mbak kebingungan mencari,"
Apa? Siapa yang kabur?
Gifty meringis kearah supir taksi dan menatap ke luar jendela. Kemudian Gifty ingat sebelum ini Vigo berbicara sesuatu pada sang supir. Jadi, ini yang dikatakan Vigo. Dikerutkan keningnya sesaat dan tidak menjawab ucapan supir taksi.
"Mbak nggak usah khawatir, orangtua Mbak nggak akan marah karena Mbak kabur. Mereka malah seneng kalo tau anaknya kembali."
Apa-apaan Vigo ini, mengatakan kalau dirinya kabur dari rumah? Kalau Gifty kabur dari rumah selama satu minggu pun sepertinya orangtuanya tidak akan sadar dan peduli. Mereka terlalu sibuk dengan urusan bisnis mereka. Meski sang supir taksi bercuap-cuap menasehati Gifty dengan berbagai petuah. Ada perasaan hangat yang menelusup. Gifty bisa lebih tenang dan tidak memusingkan soal peristiwa tadi meskipun tidak sepenuhnya pikiran itu lepas.
"Pak, bisa tolong puter balik? Ke bakery tadi deket lampu merah." Kalau harus bakery di dekat sekolah, Gifty takut sampai malah maghrib. Jadi, ia memutuskan bakery dekat rumah saja.
"Baik, Mbak."
Dibiarkannya taksi menunggu diluar selagi Gifty memasuki bakery dan membeli cake berukuran sedang yang diatasnya tertulis 'Welcome Home Papa & Mama'. Menatapnya sekali lagi membuat perasaan Gifty diliputi rasa senang. Sudah 2 minggu ini ia tidak bertemu kedua orangtuanya. Saat dua hari lalu mereka mengabarkan kalau akan pulang malam ini membuat Gifty menunggu sekali hari ini.
"Ini, Pak, uangnya," sang supir malah menampakkan raut aneh ketika Gifty memberikan beberapa lembar uang sesuai argo yang tertera.
"Udah di bayar lebih dari cukup sama Mas-nya tadi kok, Mbak."
"A-apa?"
"Iya, Mbak," ia merogoh uang di saku celananya. Ada beberapa lembar receh yang ia pegang. "Karena uang Mas-nya tadi kelebihan, ini kembaliannya, Mbak. Tolong sampaikan sama Mas-nya ya."
Gifty buru-buru menggeleng. "Iya. Makasih banyak ya, Pak." Meskipun Gifty masih tercenung karena tahu argo taksinya sudah di bayar, Gifty menuruni taksi yang mengantarnya sampai ke rumah.
Kapan Vigo membayarnya? Kenapa Gifty tidak lihat?
Pikirannya benar-benar tidak fokus. Semua karena tiga cowok sialan yang hampir menculiknya tadi. Gifty menghela napas panjang. Bahkan sepertinya Vigo tidak peduli dengan bekas merah dipipinya yang disebabkan oleh Fabian.
Jalang.
Setiap mengingat nama Fabian dalam otaknya. Kata itu selalu muncul. Abaikan, Gifty. Dia tidak serius. Dia hanya meluapkan amarahnya. Meski entah apa yang menyebabkan cowok bernama Fabian menculiknya. Gifty menenangkan dirinya sendiri selagi langkahnya terus mendekat ke pintu utama rumahnya yang besar tetapi terlihat sangat sepi. Hingga mengabaikan sapaan Pak Tono, satpam yang menjaga gerbang rumahnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
PRARANCANGAN HATI [Completed]
Teen FictionMencari Gifty itu mudah. Datangi saja ke kelasnya, toilet, perpustakaan, atau belakang sekolah. Atau temui saja di rumahnya. Mudah, kan? Mencari Vigo yang susah. Di sekolah susah. Di rumahnya apalagi. Jadi, kalau mau mencari Vigo, tanya saja pada Gi...