[PH] - 43. HOME

10.1K 829 183
                                    

Tatapannya begitu menyiratkan pilu yang menggebu. Vigo tidak ingin Gifty pergi. Vigo ingin Gifty tetap berada di sisinya. Tapi, ia sadar. Kalau Vigo memaksakan kehendaknya, Vigo akan menjadi orang yang egois. Selama ini dia sudah cukup egois. Ia tak ingin menambah daftar sikap buruk itu.

Vigo menghela napas berat. Di tatapnya wajah Gifty yang berseri. Tatapannya menatap Vigo dengan penuh harapan. Meminta sebuah keikhlasan. Vigo menelan ludah pelan.

"Kamu bener-bener mau pergi?"

Ada getir pada tatapannya yang ikut menyapa diri Vigo. Tapi, Gifty memaksakan diri untuk tersenyum. Membuat pancaran wajahnya kian berseri.

"Bukannya aku mau. Tapi, harus, Go. Semua udah ada yang ngatur. Dan ini saatnya aku pergi. Suatu saat, di dunia yang berbeda. Pasti kita akan bertemu lagi."

"Go on," meski perih sangat terasa. Vigo memaksakan dirinya untuk menerima. "Lanjutin apa yang harus lanjut."

Vigo tahu, ia harus merelakan Gifty pergi.

Selamanya.

***

Dear Vigo Naufal Akram,

I still remember that day, the day that you came to me. I was lost until you found me. I'd never thought I'd like you this much. I gave you my heart. Even sometimes I don't get you. Yes, being with you is not that easy. That's true. But, I love being with you. Knowing you is God's way that has been written for me. You don't know how grateful I am to know you.

I love you.

Those three words are not enough.

I love the way you say my name. I love our conversations. I love that you care. I love that you are never awkward around me, even I do. I love all the little things you do to make me happy. I love all the things of you.

I love you, Vigo. I'm blessed.

Tangannya menggenggam erat buku sketsa yang tengah ia baca. Segala perasaan sedihnya yang sejak kemarin-kemarin sengaja ia pendam akhirnya malah kian menguar. Di peluknya barang terakhir yang Gifty tinggalkan. Buku sketsa milik dirinya yang tertinggal saat keduanya terakhir saling berbicara.

Tulisan tangan Gifty terpatri tepat di belakang halaman sketsa wajah Vigo yang tergaris sempurna di halaman putih kertas didalamnya. Ini sudah hari ke-7 semenjak kepergiannya. Berkali-kali Vigo membaca tulisan Gifty. Berkali-kali pula Vigo tak kuasa menahan perasaan sedihnya.

Maaf.

Satu kata terucap dalam hatinya. Padahal ia sudah mengatakan kalau ia tak akan menunjukkan rasa sedihnya. Tapi.. semua ini terasa sulit. Menahan perasaan yang begitu menggebu—benar-benar menyesakkan dadanya.

Vigo mengusap air mata yang turun dengan cepat. Berusaha tegar. Ia boleh saja bersedih. Tapi, tak akan ia biarkan hal itu berlarut-larut. Untuk kalimat itu, Vigo benar-benar memegangnya teguh.

Masih jelas di bayangannya ketika tubuh Gifty menyatu dengan tanah. Semua yang menyaksikan histeris. Menahan kesedihan, pilu yang mendalam. Yang mengejutkan pada reaksinya, tak seperti orang-orang di sekeliling Vigo. Ia hanya menatap kosong tubuh Gifty yang kian lama tertutupi oleh tanah merah.

Vigo percaya satu hal. Segala penyesalan, rasa bersalah, kesedihan, serta kekecewaannya tak akan pernah membalikkan keadaan. Gifty sudah tenang di tempatnya berada. Tak akan Vigo biarkan Gifty merasa terusik karena kesedihan yang ia tunjukkan terlaru berlarut-larut lamanya.

"Gue nggak setuju kalo lo pikir gue udah maafin lo. Karena buat gue, susah buat maafin lo," saat semua orang satu-persatu mulai beranjak pergi. Juna menghampiri Vigo yang masih termenung di tempatnya berdiri. "Gue pikir Tuhan udah bales semua yang lo lakuin ke Gifty dengan kepergian dia. Pasti jauh lebih sakit rasanya dari semua pukulan gue kemarin ke lo."

Juna menarik napas. "Nikmatin rasa sakit itu. Nikmatin gimana rasanya nyesel udah nyia-nyiain kesempatan yang udah lo punya. May peace be upon us all."

Vigo masih sempat melihat bagaimana cara Juna menatap Nana, melewati dia tanpa sempat bertegur sapa. Ketika sorot mata Nana menunjukkan pengharapan sekaligus penyesalan pada Juna. Juna malah mengabaikannya, ia berjalan menjauh. Tanpa sedikitpun menoleh kearah Nana.

Pun menoleh kembali untuk melihat tempat peristirahatan Gifty yang terakhir. Juna benar-benar pergi. Seolah tak ingin menyisakan kenangan lama yang tertinggal di belakangnya. Seolah ia ingin membuangnya jauh.

Nia menyadari kesedihan di mata putrinya. Kemudian ia berlutut di hadapan Nana. Menghapus sisa air mata bekas kesedihan mengiringi Gifty ke tempat peristirahatan terakhirnya.

"Kita ke dokter Santi sekarang ya, Nak? Biar pikiran kamu lebih tenang." Lama Nana terdiam. Dan mengangguk pada akhirnya.

Semua orang benar-benar telah pergi. Tinggal Vigo sendiri disini. Tubuhnya spontan berlutut di sebelah nisan Gifty. Memegang erat nisan itu. kepalanya tertunduk dalam. Tiada lagi air mata yang dapat ia keluarkan. Selama beberapa saat Vigo terdiam. Membiarkan pikirannya bekerja. Membiarkan hatinya berbicara.

Segala penyesalan telah ia rasakan. Rasa bersalah akan selamanya ada.

Vigo mengulurkan tangannya, menyentuh nisan di hadapan dirinya. Lantas mengusap pelan nisan itu. Sorot matanya meredup. Tiada lagi kepiluan. Yang ada hanya sorot mata kenangan. Seakan hanya dengan melihat nisan yang tengah ia pegang. Vigo dapat kembali memunculkan kenangan lama bersama dirinya dengan Gifty.

"Despite everything we've been through, I always know that you're home to me."

                                                                            ***       S E L E S A I      ***

Selasa, 14 Nopember 2017

Guys, thank you buat yang udah ngeluangin waktu buat baca, vote, dan comment. PRARANCANGAN HATI udah selesai. Yap. Selesai. Sampe disini. Nggak ada epilog atau extra part. Karena nggak ada di plot yang udah gue buat. Sekali lagi thank you!

PRARANCANGAN HATI [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang