Hidupnya sekarang hancur. Dia telah melakukan kesalahan besar dalam hidupnya. Dan kini, ia harus menerima kalau dirinya cacat! Nana tidak ingin ditemui oleh siapapun. Termasuk kedua orang tuanya yang sudah memohon-mohon kepada dokter dan perawat agar dapat menemui anak semata wayangnya. Tapi, para dokter dan perawat itu hanya dapat menyampaikan pesan pasien.
Nana jijik dengan dirinya sendiri. Sudah tidak ada gunanya lagi ia hidup. Kenapa kecelakaan tidak merenggut nyawanya sekalian? Kenapa hanya kaki kanannya saja? Nana benci situasi ini.
Matanya menyapu seluruh sudut ruangan. Tubuhnya bergetar menahan sesuatu yang tak dapat di gambarkan. Giginya bergelutuk, bibirnya seputih kertas. Tanpa sadar air matanya menetes dari kelopak mata. Turun membasahi wajahnya yang tidak kalah pucat.
Pandangannya berhenti pada pisau yang di gunakan untuk memotong buah di meja yang tak jauh dari tempat ia berbaring. Tanpa berpikir panjang, Nana berusaha mengambil pisau itu ke genggaman tangan. Mengeluarkan seluruh tenaga untuk mengambil pisau tersebut. Karena kakinya yang cacat, dia tidak bisa berjalan normal. Bahkan mengambil pisau dengan jarak sedemikian dekat rasanya sulit. Nana melepas paksa infus yang terpasang di tangan kiri, menyingkirkan benda itu karena ia menganggap itu mengganggu gerakannya.
Wajahnya meringis ketika jarum itu terlepas. Sambil menahan ringisan, Nana berusaha meraih pisau itu kembali. Setelah perjuangannya selama beberapa saat, Nana berhasil mendapatkan pisau yang ia inginkan. Tangannya bergetar hebat hanya dengan memegangnya saja.
Hatinya sudah dipenuhi keputusasaan. Otaknya buntu. Pikirannya di penuhi hal negatif dan penyesalan. Perlahan kepalanya menggeleng, ia mulai memejamkan mata. Menelan ludah. Ia tidak mau hidup dalam keadaan seperti ini. Belum cukup hanya menyimpan rasa bersalah pada sahabatnya dari kecil. Sekarang di tambah dirinya yang cacat. Nana benar-benar tidak memiliki harapan lagi. Ia kehilangan arah, kehilangan akal sehatnya.
Dingin yang ia rasakan saat pisau itu menyentuh permukaan kulit pergelangan tangannya. Merasakan sesaat denyut nadinya yang sebentar lagi akan berhenti. Nana menarik napas bersamaan dengan tajamnya pisau yang mulai menggores pergelangan tangan.
Tuhan, izinkan aku pergi dari dunia ini.
Berulang kali Nana menggumamkannya dalam hati.
Kemudian terdengar pintu ruangannya yang terbuka, kedua orang tuanya mendadak muncul. Setelah memohon-mohon akhirnya perawat dan dokter tak dapat mengelak lagi. Meski pasien telah meminta untuk tidak menemui siapapun. Bagaimanapun juga, mereka yang memohon adalah orang tua kandungnya. Mereka berhak menemui anak mereka.
"ASTAGA, NAK! APA YANG KAMU LAKUKAN?" Setitik darah menetes dari pergelangan tangan Nana. Belum terlambat untuk Mamanya mengambil paksa pisau itu.
"LEPASIN NANA, MA! BIARIN NANA PERGI!!" Nana memberontak. Tapi, Nia—Mamanya tak kalah gerakan untuk cepat memeluk erat tubuh Nana. Mencoba untuk meredakan emosi anaknya. Alih-alih mereda, Nana semakin gencar.
KAMU SEDANG MEMBACA
PRARANCANGAN HATI [Completed]
Teen FictionMencari Gifty itu mudah. Datangi saja ke kelasnya, toilet, perpustakaan, atau belakang sekolah. Atau temui saja di rumahnya. Mudah, kan? Mencari Vigo yang susah. Di sekolah susah. Di rumahnya apalagi. Jadi, kalau mau mencari Vigo, tanya saja pada Gi...