34

1.1K 154 13
                                    

Naomi pov

Aku terduduk disamping ibuku yang masih belum sadarkan diri.  Tanganku memegangi tangan sosok yang melahirkanku ini.  Ada kekhawatiran diri yang sulit dijelaskan.  Khawatir kalau ibu tak terbangun dan khawatir ketika ibu terbangun.

Aku tak tahu apa yang akan terjadi saat hal kedua itu terjadi. Apa mamah akan marah?  Jelas!  Kebohongan mana yang bisa termaafkan.  Apalagi aku telah membohonginya lebih dari 15 tahun.  Dan mamah harus mendengar kebenarannya dari orang lain.  Maksudku dari ayah mertuaku. Dan bukan dari aku apalagi dari papah.

Sebenarnya saat ini aku sangat ingin mengejar veranda dan menjelaskan pada ayahnya tentang situasi yang terjadi diantara kami.  Tapi mamah jauh membutuhkan penjelasan dariku. Maaf ya Ve. Bertahanlah. Yakinlah aku akan memperjuangkanmu. Pasti.

"Naomi aku sudah menghubungi papah.  Sebentar lagi mungkin sampai. " ucap mbak imel yang sepertinya sudah kelelahan mengurus dan menenangkan mamah.

Aku jadi membayangkan bagaimana histerisnya mamah ketika mendengar kebenarannya.  Aku tak bisa mebayangkan bagaimana mamah Melawan kerasionalan dengan kenyataan yang ada.  Ini akan sangat menyakitkan untuknya.  Sangat menyakitkan, dibohongi keluarganya. Sosok yang paling dipercayainya.

Ya.  Papah.  Aku pun tak bisa bayangkan saat papah tiba disini.  Dan aku,  aku pasti akan menjadi bual-bualannya saja. Papah pasti akan menyalahkan aku atas semua kejadian ini.  Padahal masalah ini bermula dari dirinya.  Kalau saja papah tak meminta naomi kecil yang polos menyamar menjadi naoki.  Ahh sayang, nasi sudah jadi bubur semua sudah terjadi bertahun-tahun. Kebohongan sempurna akhirnya mulai terbuka lebar.

Yang pasti aku harus siap kehilangan banyak hal. Mungkin aku akan keluargaku. Mamah dan papah.  Termasuk mertuaku.  Tapi aku harap aku tak pernah kehilangannya.  Kehilangan veranda. Karena aku tak bisa bayangkan bagaimana aku tanpa dia.  Apakah aku masih sanggup bertahan akan keadaan ini?

"Na.. Naokii...  Na... Naokii.. " mamah menyerukan nama naoki dalam tidurnya semakin membuatku mengeratkan genggamanku, untuk menguatkannya bahwa aku ada disampingnya.

"iyaa Mih aku disini mih." aku menggenggam erat tangan ibu yang melahirkannya.  "aku disini mih. Disamping mamih dan selalu akan di sini. Dihati mamih. " air mataku menetes.

Ku lihat mbak imel hanya mampu menyenderkan kening nya lemah dibalik tangan ibuku yabg terinfus.  Isak tangisnya mengiringi.

Kesedihan. Duka.  Masalah.  Semua terjadi karena aku.  Aku.  Penyebabnya.  Aku.  Alasannya.  Aku.  Sumbernya.  Aku.  Aku.  Aku.

"Na.. Naoki.. na.. Naoki. " hanya nama itu yang di serukan ibuku.  Bukan nama mbak imel. Apalagi aku.

Setiap getar bibir ibuku menyebut nama Naoki.  Setiap itu pula tubuhku bergetar akan rasa bersalah.  Bukan hanya sekarang berpura-pura sebagai naoki.  Tapi getaran penyesalan itu membawaku dalam kenangan masa kecilku.  Bola itu. Sungai itu. Kecelakaan itu. Semua tergambar jelas dalam ingatanku.

Kalau saja aku yang mengambil bola itu.  Mungkin ceritanya akan lain.  Bahkan ibu takkan berbaring disini.  Dan sosok yang dicintai dan dinikahi veranda tentunya Naoki.  Bukan aku.

Kejadian ini layaknya dejavu. Sama seperti saat ibu pingsan tak sadarkan diri berkali kali setiap kali diberikan kabar bahwa Naoki telah tiada. Namun keadaan itu berubah saat aku hadir dengan rambut pendekku dan ibu memanggilku Naoki.  Akankah hari ini pun sama? Akankah saat ibuku terbangun menganggapku sebagai Naoki?  Atau mami akan mengingat apa yang dikatakan orangtua veranda?

"na.. Naokik..  Na.. Oki.. " tangannya terulur memegangi pipiku.  Mengelus pipiku.

Aku tersenyum, karena kini telah ada pergerakan dari ibuku.  Air mataku mengiringi.  Runtuian kata yang mungkin membuat ibuku terbangun.

Aku Shinta NaomiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang