35

1.2K 146 12
                                    

Naomi POV

"Ve? " lirihku melihat ke arah samping kanan ranjangku.

Aku menghembuskan nafas kasar.  Lagi-lagi saat aku terbangun di pagi hari, namun tak ada lagi wajah veranda yang ku lihat.  Tak ada lagi suaranya yang terdengar menggelegar hanya untuk membangunkanku, yang disertai ocehannya, amarahnya, bawelnya yang terasa sangat menggemaskan.  Dan aku tak bisa lagi menggodanya untuk sekedar meminta morning kiss.

"aku kangen kamu ve. " ucapku meraba ranjang sisiku yang kosong.

Ini bukan sekadar sehari dua hari lagii.  Tapi berhari hari.  Sudah nyaris dua minggu aku tak bertemu dengan ve.  Namun bukan berarti selama itu aku tak ada usaha.

Tentu saja aku selalu mendatangi rumahnya.  Walaupun yang ku dapat hanyalah penghinaan dan pada akhirnya aku diusir kasar.

Mengenai keluargaku,  waktu yang samapun menjadi bukti ketidakpedulian mereka.  Menjadi bukti konkrit bahwa aku benar benar bukan lagi bagian dari keluarga Prasetya.

Mungkin tekadkupun tak segencar mendapatkan maaf dari keluarga ve. Karena aku hanya berpikir buat apa aku memperjuangkan yang jelas kuperjuangkan selama 15 tahun ini pun sama sekali tak memihak padaku.  Buat apa aku mengemis mengharapkan diakui.  Jika merekapun melupakanku sebagai anggota keluarganya.

Mungkin inilah bentuk kekecewaanku pada papih.  Selama ini aku mengikuti perintahnya.  Mengikuti keinginannya.  Aku memperjuangkan kebahagian mamih dan keluarga.

  Tapi apa yang terjadi setalah kebenaran terungkap?

Aku menjadi kambing hitam.  Aku tetap dianggap salah. Apa yang kuperjuangkan selama ini terasa sia-sia.  Bukan karena mamih yang tak bisa menerima kenyataan.  Tapi karena papi yang tak bisa mengakui bahwa dia adalah dalang dari kebohongan identitasku.

Aku bangun dari tidurku.  Mengusap wajahku kasar.  Memijat pelipisku yang pusing.

Aku keluar kamar tanpa membereskan tempat tidurku.  Menuju dapur. Mengambil dan meneguk habis satu kaleng minuman bersoda.  Duduk di meja makan mencengkram kalrng kuat-kuat.

Huh.
Aku menatap miris pada meja makan dihadapanku.  Aku menjadi teringat saat ve selalu membuatku sarapan namun sering kali ku abaikan karena aku memilih sarapan dengan shani.  Begitupun ketika makan malam.

Aku berjalan menyalakan televisi. Tanganku bergerak mengganti chanel.  Karena sesungguhnya arah pandang mataku sama sekali tak fokus pada tv.  Karena pikiranku melayang entah kemana, berharap alam bawah sadarku dapat menemukan veranda.

Ting tong.
Ting tong.

Suara bell apartemantku yang berbunyi ku abaikan.  Kaki ini terlalu malas melangkah sekedar membukakan pintu.  Ku acuhkan suara itu sampai suara lain terdengar.  Suara handphoneku berdering.

"hallo? " jawabku tanpa memastikan siapa yang menghubungiku.

"aku di depan apartemantmu.  Buka kan pintunya!" perintah suara itu yang ku yakini milik Kinal. "Aku pegel berdiri terus disini, seperti orang gila."

"hmmm." jawabku malas.

Dengan malas dan langkah gontai,  kubawakan kakiku melangkah. Membuka kan pintu sampai ku melihat Kinal dan Mbak Imel di depan unit apartemantku.  Ku tatap mereka malas. 

Aku hanya membuka pintu,  tanpa mempersilahkan mereka masuk.  Toh mereka akan masuk tanpa ku perintahkan.  Aku kembali berjalan.  Dan kembali berbaring di sofa dekat televisi.  Dan kembali bermain dengan remotenya.

"ya ampun Naomii." kaget mbak imel ketika melihat keadaan apartemantku seperti kapal pecah.

"kamu mabuk semalaman? " lanjutnya lagi ketika melihat beberapa botol beer yang belum sempat aku bereskan.

Aku Shinta NaomiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang