Mungkin ini adalah hari tergabut Mili. Mili pergi ke sekolah dengan keadaan mata sembab dan bibir pucat. Sepertinya efek semalam sangat melekat kepada Mili bahkan atmosfer panas semalam masih saja terus memenuhi pikirannya. Rasanya Mili merasa jadi wanita paling buruk rupa di Cyber High School saat ini, ia saja tidak berani melihat dirinya di cermin.
Ditambah lagi hari ini ulangan kimia. Mili tidak tahu bagaimana ia menjawab soal ulangan kimia nanti, karena tidak ada satupun materi yang melekat di otaknya. Sekarang Mili hanya berharap ada keajaiban yang tiba-tiba saja membuat Pak Yono sang guru kimia tidak masuk hari ini. Untuk hari ini saja, Mili sangat berharap.
Bel sudah berbunyi, tapi belum ada tanda-tanda kehadiran pak Yono. Sebenarnya bukan hanya Mili yang mengharapkan ulangan kimia hari ini dibatalkan tapi hampir semua murid kelas Mili berharap seperti itu.
"Woii, pak Yono kagak masuk," teriak Aldi yang baru saja masuk ke dalam kelas.
"Serius dong Di, jangan ngprank kita," jawab Dila.
Aldi masih mengatur napasnya, "Serius Dila, buat apa coba gue bohong. Pak Yono gak masuk, dia nitipin tugas ini tadi di piket," kata Aldi lagi sambil menunjukkan kertas yang di dapatkannya dari piket tadi.
Seluruh siswa langsung melakukan selebrasi seperti habis mencetak gol, sedangkan para siswi langsung berteriak dan bahkan ada yang berpelukan. Sepertinya tidak jadi ulangan kimia adalah hal yang paling menyenangkan.
Mili juga sangat senang, sepertinya kali ini Dewi Fortuna sedang berpihak kepadanya. Jika saja jadi ulangan kimia, Mili tidak tahu akan jadi apa lembar jawabannya.
"Temenin gue beli pena ke koperasi yuk Dil," ajak Mili.
Dila mengangguk dan langsung berdiri. Mili tidak bertanya apa-apa kepada Dila tentang kejadian semalam, dan Dila juga tidak berinisiatif untuk memberitahu Mili. Karena Dila tahu jika ia menceritakan semuanya kepada Mili itu hanya membuat Mili menjadi tambah sedih.
Ternyata di koperasi sedang ada Milan dan teman-temannya, Mili hanya berjalan sambil menundukan wajahnya, ia tidak mau Milan melihat matanya yang bengkak itu.
"Eh ada neng Dila," panggil Riki.
"Ada Mili juga," sambung Riki.
Obrolan mereka terhenti sesaat, ketika Riki menegur Dila dan Mili. Semua perhatian tertuju kepada mereka berdua.
"Lo sakit Mil?" tanya Fachri yang melihat wajah Mili yang pucat.
"Terus itu mata lo kenapa kek sembab gitu?" sanbung Farhan yang masih memperhatikan kedua bola mata Mili.
"E-eh gak papa kok kak," ujar Mili yang sekarang memberanikan diri untuk menatap Milan.
Mili menatap lurus ke arah Milan, dan entah kenapa kali ini Milan tidak menghindari tattapan mata Mili, melainkan balik menatap Mili. Seutas senyum tipis menghiasi wajah Mili. Ia masih menatap manik mata Milan yang dulunya selalu membuat hati Mili merasa teduh.
'Kamu pucat, apa kamu sakit?' Milan hanya bisa membatin di dalam hati. Wanita yang dulu pernah menjadi kekasihnya itu terlihat tidak baik-baik saja, Milan sangat khawatir, ingin sekali rasanya Milan menanyakan langsung kepada Mili tapi tidak bisa. Itu hanya semakin membuat wanita itu bersedih.
Milan tidak mau menambah goresan luka di hati Mili. Sudah cukup baginya untuk menyakiti wanita yang tidak tahu apa-apa itu. Bahkan sekarang Mili tak tahu apakah sikapnya telalu kejam kepada Mili, tapi itulah yang harus dilakukan Milan agar Mili bisa membencinya dan cepat melupakan dirinya.
Tapi Milan tak habis pikir dengan Mili, bagaimana bisa dia masih bisa menyunggingkan senyumnya kepada Milan, padahal jelas-jelasMilan adalah orang yang belakang terakhir menggoreskan luka di hatinya.
"Duluan ya kak," pamit Dila sambil menarik lengan Mili untuk meninggalkan tempat itu.
***
Sekarang sudah menunjukkan pukul enam sore. Mili dan teman-temannya bersiap-siap untuk pulang.
Kali ini Mili tidak sekelompok dengan Dila.
"Gue duluan ya Mil," pamit Fanny salah satu teman kelompok Mili yang rumahnya memang tak searah dengan Mili.
"Oke Fan," jawab Mili sambil melambaikan tangannya.
Mili sudah berjalan ke gang sekolah, ia harus menunggu angkutan umum yang lewat, karena Devan tidak bisa menjemputnya.
Sudah hamir malam, Mili sampai di gang rumahnya, karena memang jarak sekolah dan rumahnya lumayan jauh. Untung saja tadi masih ada angkutan umum yang lewat. Mili harus bejalan seorang diri dari gang ke rumahnya. Sesekali ia menunduk dan tersenyum.
Berjalan seorang diri, ditemani oleh semilir udara malam yang sangat menusuk. Tiba-tiba saja Mili teringat semua kenangan ketika ia masih bersama Milan. Kenangan itu terus bermunculan seperti memaksa Mili untuk kembali lagi ke sana.
Air mata Mili jatuh, tapi dengan cepat ia menghapusnya, "aku rindu kamu," lirihnya, "apa gak bisa kita kayak dulu lagi?"
Tiba-tiba hujan turun dengan deras tapi Mili tak berniat untuk mencari tempat berlindung. Ia masih saja berjalan di bawah derasnya hujan.
"Sepertinya Tuhan ngerti perasaan aku sekarang," ujar Mili sambil mengadahkan kepalanya ke langit.
Tuhan sangat tahu perasaan Mili sekarang, terbukti hujan yang sekarang sedang mengguyurnya. Tuhan sengaja menurunkan hujan deras, agar Mili bisa menangis sepuasnya tanpa orang lain mengetahuinya.
"Thanks God" Mili tersenyum sambil merentangkan kedua tangannya sambil menatap langit malam menikmati hujan yang mengguyur tubuhnya.
Rasanya Mili ingin selalu seperti ini. setiap ia bersedih ataupun ingin menangis ia selalu berharap hujan akan turun dan Mili akan berjalan di bawah hujan, agar orang lain tidak tahu jika Mili sedang menangis. Biarlah dia sendiri dan Tuhan yang tahu apa yang membuat hatinya bersedih.
***
Insyaallah sekarang aku akan update cepat yaa
Karena aku sebentar lagi ujian dan UNBK
Jadi sebelum sibuk ujian aku pengen nyelesain cerita Milan ini
Karena memang ini cerita pertamaku
Vote dan komentar nya selalu yaa
Biar aku tambah semangat buat nyelesainya cepat-cepat
KAMU SEDANG MEMBACA
MILAN [Completed]
Teen Fiction[BEBERAPA PART DI PRIVATE ACAK, FOLLOW UNTUK MEMBACA] Biarlah kita menjadi kenangan. Kenangan yg selalu tersimpan rapat di dalam hati. Terima kasih sudah mengajariku apa itu cinta. Terima kasih sudah memberi bahagia walaupun sempat menggoreskan luka...