EMPAT PULUH

2.5K 124 21
                                    

Setelah hampir empat hari tak sadarkan diri. Milan akhirnya terbangun dari tidur panjangnya. Milan bahkan tidak ingat sudah berkelana kemana saja, ia selama tertidur empat hari ini.

Milan membuka matanya perlahan. Milan belum bisa melihat dengan jelas, pandangannya masih kabur-kabur. Milan melihat ke samping ranjangnya. Dilihatnya seorang wanita sedang terlelap mengenggam jemari tangannya. Milan belum bisa melihat siapa wanita yang terlelap itu, wajahnya belum bisa terlihat jelas. Hanya bayang-bayangnya saja.

Memang itu efek karena Milan baru saja sadar. Kondisi Milan belum terlalu membaik, tubuhnya masih sangat lemah.

Seperti ada cahaya yang menyinari, kini wajah yang tadi dilihatnya hanya samar-samar kini mulai terlihat dengan jelas, tepatnya sangat jelas. Siapa lagi jika bukan wanita yang sangat dicintainya, Mili. Setidaknya Milan bersyukur karena saat membuka matanya untuk pertama kalinya, pemandangan yang dilihatnya adalah wajah Mili. Walaupun sekarang perempuan itu sudah mengetahui semuanya.

Mili merasakan jemari yang digenggamnya bergerak-gerak. Mili mencoba untuk membuka matanya, dan benar saja jemari yang sekarang masih dalam genggamannya itu sudah bergerak, dan Mili langsung melihat ke arah Milan. Pemandangan yang sangat indah. Milan sudah terbangun dari tidurnya.

Mili tersenyum menatap Milan yang masih terlihat terlalu lemah itu. Terpancar sinar dari sorot mata Mili yang membuat senyum di wajah Milan terukir.

Mili masih belum membuka suaranya begitu juga dengan Milan. Keduanya seperti hanya berbicara melalui sorot mata. Mili meremas tangan Milan dengan hangat, mencoba untuk menumpahkan rasa rindunya yang telah dirasakannya selama ini.

Milan membuka mulutnya dan ingin mengatakan sesuatu kepada wanita di hadapannya sekarang ini. Mili yang menyadari isyarat itu langsung membuka suara. "Kak Milan ada di rumah sakit," jelasnya sambil tersenyum dengan tatapan yang sangat mendalam.

Milan yang terbaring di tempat tidur itu berusaha untuk bangun dan menyandarkan tubuhnya. Dengan cepat, Mili kembali membuka suara.

"Kondisi kak Milan masih belum pulih, pasti banyak yang pengen kak Milan jelaskan. Kak Milan jelaskan nanti jika kondisi kak Milan sudah membaik."

Milan tersenyum dan mengelus kepala Mili. Ah, Milan juga sangat merindukan Milinya.

"Sekarang kak Milan makan dulu ya, biar bisa minum obat," kata Mili seraya mengambil makanan yang dibawakan suster tadi, "biar aku suapin."

Senyum Milan kembali mengembang. Terpampang begitu manis. Senang rasanya bisa kembali bersama wanita yang sangat dicintainya itu. Rasanya Milan bersyukur, Tuhan begitu baik padanya. Mengirimkan seorang bidadari tak bersayap untuk dirinya. Milan menatap Mili wanita yang selalu menjadi obat untuk sakitnya.

Suapan demi suapan. Sesendok demi sesendok. Milan menerima suapan yang diberikan oleh Mili. Dengan semangat Milan menerima suapan-suapan itu, mungkin karena bidadarinya yang menyuapinya. Memang mereka tak saling berucap, namun senyuman yang mereka tampilkan sudah mengungkapkan semuanya dan hanya dimengerti oleh keduanya. Mereka yang belakangan ini terpisah, kini telah menemukan titik kebahagiaannya kembali.

"Makasih Mil."

Suara Milan terdengar begitu lembut. Mili sangat merindukan nada suara itu. Sudah lama sekali ia tidak mendengar nada suara Milan yang seperti itu.

"Maaf udah nyakitin kamu selama ini, maaf udah bikin kamu nangis, ma..."

"Udah, kak. Aku udah tau semuanya. Kak Milan gak perlu minta maaf sama aku. Sekarang gimana keadaan kak Milan?"

"Udah baik kok. Apalagi, kamu yang ada di sini. Kakak pengen jelasin semuanya sama kamu," Milan mengulurkan tangannya. Mili langsung menerima uluran tangan tersebut dan mengenggam nya dengan erat.

MILAN [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang