EMPAT PULUH SATU

2.8K 117 5
                                    

Mili menghampiri Milan dan membawakan obatnya. Sudah dua hari Milan keluar dari rumah sakit. Milan tidak betah jika harus di rawat di rumah sakit, jadi ia meminta kepada orang tuanya agar ia dipulangkan saja. Awalnya Raya dan Rey menolak, namun Milan meyakinkan kedua orang tuanya bahwa ia akan menjalani pengobatan seperti yang diminta oleh keduanya.

Memang benar, sekarang Milan harus berjuang. Berjuang melawan penyakitnya. Walaupun mungkin sudah sedikit terlamabat, setidaknya jika kemoterapi tidak menyembuhkan tapi hanya memperpanjang hidupnya sebentar Milan tidak keberatan. Sekarang bagi Milan, waktu sangat berharga bagi dirinya.

Setiap waktu ia selalu menghabiskan waktu bersama orang-orang terkasihnya. Tidak pernah sedetikpun Milan tidak bersama dengan mereka.

Tokk Tokk Tokk

Ketukan pintu terdengar dari luar. Milan dan Mili bisa menebak siapa yang datang. Jika bukan Yasmin itu adalah Farhan, Fachri, Riki, Derren dan Dila. Memang sekarang Derren sudah kembali berbaikan dengan Milan, dan kembali bersahabat seperti dahulu. Milan sangat senang bisa kembali seperti dulu.

"Mili!" sapa Dila dengan suara lucunya, matanya berbinar. Mili sangat merindukan Dila, sudah lama ia tidak menghabiskan waktu bersama sahabatnya itu.

Mili segera membuka pintu dengan lebar saat melihat semuanya ada di sini. Lengkap. Tidak ada yang kurang satupun. Mulai dari Yasmin, Dila, Farhan, Fachri, Riki hingga Derren. Mili menyambut pelukan Dila. "Kok gak kabarin sih kalo mau ke sini?"

"Aduh, abisnya gue udah kangen banget sama lo Mil," sahut Dila dengan gemas.

Mili menggandeng Dila dan Yasmin untuk masuk.

"Oh jadi cuma Yasmin sama Dila nih yang diajakin masuk," sindir Derren.

"Iya nih Ren, kayaknya kita gak dianggep deh," sambung Farhan.

"Hehe gak gitu kak, ayo semuanya masuk," ajak Mili.

"Kak, liat tu perusuh datang," canda Mili saat membawa mereka semua ke halaman belakang untuk bertemu dengan Milan.

Milan tertawa tanpa beban saat mendengar perkataan Mili barusan. Fachri langsung memeluk Milan. Dengan sangat erat. Milan tidak tau sejak kapan sahabatnya itu menjadi begitu melow.

"Sejak kapan lo melow gini Ri? Kayak bukan Fachri yang gue kenal," kata Milan.

"Emang gak boleh gue meluk lo," cetus Fachri yang sudah duduk di samping Milan.

Yang lainnya hanya tertawa melihat keduanya. Kebersamaan seperti ini adalah moment yang paling menyenangkan bagi Milan. Mungkin, nanti Milan akan merindukan saat-saat ini.

Mili, Yasmin dan Dila pergi ke dapur untuk membuatkan beberapa minuman dan membawakan beberapa makanan kecil. Sekarang hati Mili terasa lebih kuat, Mili tidak lagi merasa lemah. Mili sudah berbeda. Ia harus kuat di depan Milan, jika Mili terus bersedih itu hanya menambah beban untuk Milan.

Setiap dua hari sekali Mili menemani Milan ke rumah sakit, untuk menjalani kemoterapi dan beberapa pengobatan lainnya. Mili senang sekarang Milan sudah mau di ajak berobat. Terkadang Mili ingin menangis saat melihat Milan menahan rasa sakitnya di depan Mili, melihat darah yang tiba-tiba keluar dari hidung Milan, bahkan Milan sering mengalami batu darah. Mili ingin menjerit dan menangis sekencang-kencangnya. Namun, semuanya ia tahan. Mili lebih memilih untuk bersikap kuat dan menjadi penyemangat untuk Milan.

Milan sudah mengambil keputusan yang sangat tepat untuk memperjuangkan hidupnya. Mili, Yasmin dan Dila yang sibuk menyiapkan minuman dan beberapa makanan kecil telah meletakkan semuanya di atas meja.

Mili duduk di samping Milan dengan manja ia menyandarkan kepalanya di bahu bidang Milan.

"Dila mau kayak gitu juga gak?" tanya Riki sambil mengedipkan sebelah matanya kepada Dila.

Dila langsung melemperkan bantal ke arah Riki, namun bantal tersebut salah sasaran dan malah mengenai wajah Derren.

"Aduh, maaf kak," kata Dila yang kini sudah memegang wajah Derren.

"Ki, masa Dila modus sama Derren," ujar Farhan.

"Tau nih Dila, kan kak Iki juga mau di elus gitu."

Orang-orang ini sangat senang menggoda Dila dan Riki. Lucu melihat reaksi Dila yang salah tingkah saat digoda oleh yang lainnya. Semuanya mengharapkan dan mendoakan agar keduanya benar-benar bisa jadian. Pasti, Riki sangat mengamini itu.

Yasmin memberikan kode kepada Mili untuk ikut keluar sebentar dengannya. Mili yang mengerti kode dari Yasmin segera melangkahkan kakinya meninggalkan mereka yang masih asik berbagi cerita.

"Gimana sekarang Milan, Mil?" tanya Yasmin yang sudah duduk di sofa ruang tamu.

"Kak Milan selalu ngikutin jadwal kemoterapinya kok Yas, tapi.." kata Mili terputus.

"Tapi, apa Mil?"

"Aku gak kuat liat kak Milan yang mencoba menahan rasa sakitnya, sebentar-sebentar hidung kak Milan berdarah dan juga batuk darah," Mili mengatakannya dengan sendu.

Yasmin memeluk Mili. "Kita harus bisa kuat di depan Milan. Kita adalah obat untuk Milan, Mil."

Mili melepaskan pelukan Yasmin, dan menarik napas lega. "Aku senang kamu bisa jadi alasan buat Milan berjuang Mil."

"Bukan hanya aku yang jadi alasan kak Milan berjuang untuk hidupnya Yas, tapi juga demi Mami, Papi, kamu, dan sahabat-sahabatnya."

"Tapi, seenggaknya kamu sudah meyakinkan Milan. Dari, awal aku percaya kalo kamu memang penyemangat untuk Milan. Makanya aku berusaha untuk membuat kamu kembali lagi bersama Milan."

Pernyataan Yasmin membuat Mili tersenyum lebar. Yasmin sudah sangat baik dengan dirinya. Mili bersyukur bisa dipertemukan dengan Yasmin. Beban di pundak Mili terasa menghilang begitu saja.

"Jika beban yang kamu tanggung terlalu berat, berbagilah denganku Mil. Dengan, senang hati aku akan menerimanya. Dan menanggung beban itu bersama kamu."

Senyum Mili terpancar. Ya, Tuhan wanita ini sangat baik kepada dirinya.

"Gimana nanti kita bilang sama Milan buat liburan bareng? Kita semua," ajak Yasmin dengan bersemangat.

"Baiklah," jawab Mili seraya tersenyum.

Kemudian keduanya kembali lagi ke halaman belakang. Takut, jika terlalu lama semua orang akan mencarinya.

***

Maafkan aku ya readers baru bisa up hari ini

Komentarnya selalu ditunggu yaa :)

MILAN [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang