EMPAT PULUH DUA

3.3K 142 37
                                    

Hari ini jadwal Milan kemoterapi. Seperti biasanya, Mili akan menemaninya. Mili senang sekarang Milan sudah sangat bersemangat.

"Sekarang kanker nya sudah semakin ganas, kemoterapi tidak mampu mencegah rasa sakit yang bertambah hebat, terkadang juga tiba-tiba hidungnya keluar darah bahkan sampai batuk darah. Kamu tidak perlu kaget, cukup peluk dia untuk mengurangi rasa sakitnya," kata-kata dokter Sento terus terngiang di kepalanya.

"Kamu kenapa ngelamun?" tanya Milan yang sadar dengan sikap diam Mili.

"E-eh nggak kok," jawab Mili cepat.

Mereka berdua terus berjalan bersisian, bergandengan tangan bersama. Seperti ingin menunjukkan kepada dunia bahwa mereka berdua sedang menjalin kasih.

Kemudian keduanya memutuskan untuk berhenti di taman dekat rumah sakit. Milan memejamkan matanya dan tidur di pangkuan Mili seperti bayi.

"Kamu gak bosan nemenin kak Milan di sini?" tanya Milan yang kini tengah berbaring dipangkuan sambil menatap Mili.

Mili menggeleng cepat. "Nggak lah. Kenapa juga harus bosan coba?"

"Kakak aja bosan setiap dua hari sekali harus kontrol ke rumah sakit."

Mili belum menjawab pernyataan Milan barusan. Ia panik saat melihat cairan keluar dari hidung Milan.

"Kenapa? Kok liatin nya gitu?"

"Hidung kak Milan berdarah," lirihnya.

Milan menyeka hidungnya. Dan benar saja, hidungnya sudah berdarah sangat banyak. Tangan Milan sekarang sudah dipenuhi oleh darah yang sedari tadi menetes dari hidungnya. Tangan Mili bergerak dan membantu Milan untuk menyeka darah yang sedari tadi masih menetes. Dan kini Milan sudah terbatuk-batuk, bukan hanya batuk biasa tetapi batuk yang mengeluarkan darah. Mili semakin panik, ingin sekali ia menangis sekencang-kencangnya di depan Milan, namun ditahannya.

"Cuma batuk," Milan menjelaskan. Ia sangat tau apa yang dipikirkan wanita di hadapannya ini.

Milan menutupinya. Padahal jelas-jelas Mili melihat semuanya dengan jelas.

Mili menengadahkan kepalanya ke atas, menatap langit terang yang kini sudah memancarkan cahayanya. Hatinya masih merasa sedih melihat Milan. Air mata sudah menggenang di pelupuk matanya. Dengan cepat Mili menghapusnya, ia tidak mau jika Milan melihatnya menangis.

***

Kini rumah Milan selalu ramai. Mili dan Yasmin memang menginap di rumah Milan, dan sahabat-sahabat Milan kadang-kadang juga bermalam di rumah Milan.

Milan menghampiri Derren yang sedang duduk di ruang tamu.

"Ren," panggil Milan.

Derren menoleh dan menatap Milan.

"Gue mau minta tolong sama lo."

"Apa Lan?"

"Kalo gue udah gak ada, gue titip Mili sama lo," pinta Milan.

"Apaan sih, kok lo ngomong kayak gitu," Derren tak suka jika Milan sudah seperti ini.

"Gue takut nanti gue udah pergi duluan dan belum nitipin Mili sama lo," jedanya, "waktu gak ada yang tau."

Memang benar waktu tak ada yang tau. Tapi, perkataan tadi cukup menyakiti hati Derren. Bagaimana bisa ia menitipkan Mili seolah-olah ia ingin segera meninggalkan mereka semua.

"Lo bener-bener harus jagain dia, karena dia itu orangnya keras kepala," tambah Milan lagi.

"Udah Lan, cukup!" Derren menghentikan perkataan Milan. Dia tidak suka melihat Milan seperti ini. Bukannya Milan sudah menjalani kemoterapi dan melakukan pengobatan dengan rutin?

MILAN [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang